Thursday, November 20, 2008

MENCARI FORMAT PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFISIEN, EFEKTIF DAN KOMUNIKATIF

Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekueansi tidak hanya terhadap dinamika politik, melainkan juga terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu upaya pembangunan sistim politik yang demokratis, khususnya dalam mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang pada masa Orba sangat sentralistik, adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Konsekwensi dari pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah terjadinya berbagai perobahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Keberadaan pemerintah daerah akan sangat ditentukan oleh keputusan yang lebih demokratis oleh rakyat didaerah. Demikian pula pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, akan sangat ditentukan oleh masyarakat didaerah. Dalam hal ini posisi dan peran DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan kehendak masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Lembaga ini harus mampu menampung dan memperjuangkan menyalurkan aspirasi dan kehendak masyarakat serta menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan umum secara optimal.
B. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Terdapat tiga azas dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah merupakan azas yang mengedepankan kewenangan daerah dalam pengelolaan urusan pemerintahan di daerah . Sedangkan dua azas lainnya masih terkait dengan keterlibatan pemerintah pusat di daerah dalam hal pengelolaan urusan tertentu.
Sebagai sebuah azas, desentralisasi harus diterjemahkan dalam bentuk kongkrit, baik berupa sistem pengaturan maupun instrumen pengaturan. Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk kongkrit dari terjemahan di atas. Otonomi merupakan sebuah sistem sekaligus kondisi dimana daerah-daerah menemukan mekanismenya sendiri. Mekanisme sendiri ini menyangkut keseluruhan mata-rantai pengambilan keputusan dimulai dari perencanaan, aplikasi hingga pengawasannya.
Organ yang secara prinsip menjalankan "mekanisme sendiri" ini adalah pemerintah daerah. Secara konseptual pemerintah daerah adalah organ politik yang memiliki kewenangan untuk "mengatur" dan "mengurusi" rumah tangga sendiri.
1. Kewenangan "mengatur" adalah kewenangan legislasi yang dimiliki setiap daerah otonomi. Ia meliputi kewenangan dalam menyusun policy (Perda), kewenangan mengatur distribusi dan spending sumber-daya dan keuangan (APBD) atau Discretionary power, kewenangan untuk mengawasi dan meminta pertanggung-jawaban penyelenggaraan pemerintahan, serta kewenangan untuk menentukan pejabat-pejabat politik (political power) dalam hal pemilihan kepala daerah, dstnya. Adanya sejumlah kewenangan yang melekat dalam setiap otonomi daerah inilah yang melegalisasi secara politis keberadaan lembaga perwakilan rakyat di daerah-daerah (DPRD). Dengan kata lain, lembaga perwakilan rakyat hadir justru sebagai konsekwensi dari tuntutan yang inherent dalam konseptualisasi tentang otonomi daerah.
2. Kewenangan "mengurus" adalah kewenangan eksekusi yang dimiliki oleh cabang eksekutif pemerintahan daerah. Hal ini meliputi segala urusan yang oleh UU telah diserahkan menjadi urusan daerah.Jika UU baru (nomer 22 tahun 1999) dicermati, maka tampaknya kedua hal tersebut di atas, sudah terakomodasi secara cukup berarti dalam UU baru tentang pemerintahan daerah ini. tetapi betulkah demikian ?
C. TANTANGAN DOMESTIK
Dibandingkan dengan UU 5/74, UU pemerintahan daerah yang baru memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi daerah-daerah untuk memiliki berbagai kewenangan di atas. Dalam hal penentuan policy, politik keuangan, penentuan jabatan-jabatan politik, dan pengelolaan pemerintahan, daerah-daerah, terutama tingkat II mendapatkan ruang yang lebih besar. Sekalipun demiian, ada beberapa hal penting yang harus dicatat yang bisa saja bersifat negatif bagi daerah-daerah. Dan inilah salah tantangan terberat DPRD. Kesemuanya merupakan akibat atau konsekwensi dari terjadi perubahan landasan konstitusional pengaturan politik lokal. Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa saja berakhir sebagai otoritarianisme baru ditingkat lokal apabila tidak terjadi proses demokratisasi di tingkat lokal. Hal ini disebabkan karena belum terjadi perubahan mendasar pada tingkat struktur dan kultur politik di daerah-daerah. Struktur dan kultur politik lama yang bercorak otoritairan masih tetap bertahan dan bahkan mendominasi daerah-daerah. Sekalipun di lingkungan eks-karisidenan Banyumas, serta kawasan Jawa secara keseluruhan, kontrol legislatif yang kuat telah menyulitkan struktur dan kultur otoritarian eksekutif semakin melunak, ada resiko bergesernya otoritarianisme ke arah legislatif. Kecenderungan "legislatif" untuk mengintervensi jauh ke dalam urusan eksekutif atau memaksakan kehendaknya pada eksekutif, bisa menjadi gejala baru. Karenanya, bagaimana menemukan format yang tepat agar supaya tidak terjadi pergeseran dari otoritaianisme birokrasi ke arah otoritarianisme oleh DPRD atau partai merupakan tantangan serius bagi dewan.
2. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa berakibat pada bangkitnya kembali aristokrasi lokal yang menyebakan struktur feodalisme semakin kuat di daerah-daerah. Hal ini terutama berbahaya bagi daerah-daerah yang memiliki struktur feodalisme lokal yang kuat. Ini sangat berbahaya karena bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut rata-rata negara modern. Bagi daerah-daerah eks-karesidenan Banyumas, gejala ini memang tidak menonjol karena ia lebih merupakan gejala luar Jawa, terutama di kawasan Timur Indonesia. Akan tetapi sebagai sebuah kemungkinan, ia tetap harus diperhatikan.
3. Kewenangan yang besar di daerah-daerah bisa jadi akan berakibat pada terjadinya penindasan oleh kekuatan primordial (baik atas dasar etnik maupun agama) yang besar atas kekuatan primordial yang kecil, terutama di daerah-daerah yang didominasi oleh salah satu kelompok primordial. Daerah yang didominasi oleh satu etnik atau agama misalnya, bisa dengan mudah menggunakan kewenangan yang besar untuk menindas atau paling tidak mendiskriminasi kelompok etnik atau agama minoritas lainnya. Ini pun sangat berbahaya karena demokrasi melibatkan pengertian tentang pemerintahan oleh mayoritas (yang dicapai melalui pemilu, bukan melalui statistik), tapi sekaligus perlindungan atas minoritas. Potensi ke arah ini sangat besar diberbagai daerah di Indonesia. Di Banyumas, potensi negatif ini juga tersedia, sekalipun mungkin tidak merata di semua kabupaten dan tidak sebesar potensi yang dimiliki daerah-daerah lain. Sekalipun ia bukan bersumber pada politik formal pemerintah, tekanan massa primordial bisa dengan mudah memaksa elit politik, termasuk anggota dewan untuk melakukan langkah-langkah diskriminatif terhadap kelompok kecil demi untuk memberikan kepuasan pada massa agar supaya tertib sosial bisa diwujudkan.
4. Kewenangan yang besar di daerah-daerah bisa jadi akan berakibat pada terjadinnya konflik horisontal di antara kelompok-kelompok primordial yang saling berebut pengaruh, terutama di daerah-daerah di mana kelompok-kelompok primordialnya sebanding secara kuantitas dan politis. Hal ini sangat rawan ketika mekanisme penyelesaian konflik belum terlembaga, sementara potensi konflik sedemikian besarnya. Apa yang terjadi di Ambon dan terakhir di Sambas adalah contoh-contohnya. Sialnya, kedua kondisi, yakni kealpaan mekanisme penyelesaian yang melembaga dan besarnya potensi konflik, sangat menonjol di berbagai daerah. Konflik primordial dengan skala seperti yang terjadi di Maluku memang sulit untuk terwujud di Banyumas. Akan tetapi, sengketa horisontal antar pendukung kekuatan politik sekali lagi karena keseimbangan kekuatan bisa menjadi salah satu titik rawan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, konflik internal pendukung satu partai politik karena kekuatannya sangat besar - bisa meluas menjadi problema politik internal daerah yang sulit untuk dipecahkan. Karenanya, penyelesaian persoalan-persoalan internal masing-masing partai besar dengan cara-cara damai merupakan keharusan untuk mencapai sebuah tertib politik dan sosial di kawasan ini.
5. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa jadi akan semakin mengentalkan KKN, terutama di daerah-daerah di mana struktur KKN sangat kuat dan atau di daerah-daerah dengan sistem keluarga besar (extended family system) yang kental. KKN sudah merupakan gejala struktural dan kultural di seluruh Indonesia. Pengalihan kewenangan ke daerah-daerah akan semakin memperluas peluang ini justru karena kontrol dari atas menghilang sementara kontrol dari bawah masih belum terbangun. Ia semakin rawan jika dalam daerah yang bersangkutan sistem extended familynya masih bekerja secara efektif di mana satu orang merepresentasi dan bertanggung jawab pada sebuah klan keluarga besar. Bahaya terbesar adalah dalam hal rekrutmen dan promosi jabatan. Tetapi yang juga sama berbahaya adalah dalam hal distribusi sumberdaya lokal dan distribusi politik. Distribusi sumberdaya lokal bisa jadi akan lebih dituntun oleh sentimen-sentimen kedaerahan dan kepartaian dan jauh dari pertimbangan obyektif. Sumber KKN lainnya adalah kekenyalan jaringan ideologi kepartaian. Bagi Banyumas KKN yang bernuansa ideologis-kepartaian ini terbuka cukup besar. Distribusi resources lokal berdasarkan pertimbangan kepartaian dan afiliasi ideologi kawasan bisa terjadi. Dan ini akan semakin merumitkan persoalan KKN dan bahkan bisa menjadi sumber sengketa politik antar pendukung partai dan elit partai.
6. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa saja berakibat pada pemborosan sumber daya dan keuangan daerah, terutama untuk daerah-daerah di mana kecenderungan politisasi sedemikian kuatnya yang diikuti oleh kecenderungan untuk "membeli dukungan" politik rakyat daerah. Kecenderungan money politycs yang meluas selama masa pemilu lalu, bisa menjadi gejala permanen di daerah-daerah, justru karena adanya kepentingan politisi lokal untuk mendapatkan dukungan dari rakyat daerah. Resikonya, akan banyak "pengeluaran daerah" yang semata-mata dimaksudkan dan didasarkan pada tujuan-tujuan politik ketimbang tujuan-tujuan lainnya. Banyumas, saya kira menyimpan banyak potensi ke arah ini. Di samping keenam persoalan di atas, perlu digarisbawahi bahwa UU yang baru dikombinasikan dengan UU politik yang baru, akan berakibat pada terjadinya pergeseran secara drastis "pusat kekuasaan" di daerah-daerah dari birokrasi (eksekutif) ke legislatif. Kekuasaan yang dulunya berada di tangan eksekutif secara pasti akan beralih ke legislatif.
Perubahan di atas secara positif memang membuka kemungkinan bagi berkembangnya demokrasi dan sistem pemerintahan yang semakin akontabel, transparan dan bahkan bersih karena adanya kontrol politik yang kuat oleh dewan. Tetapi pada saat yang bersamaan perubahan di atas mengandung beberapa resiko apabila perubahan ini tidak diikuti oleh perubahan mendasar dalam hubungan keduanya. Dan inilah tantangan kedua yang menurut saya sangat besar yang harus dijawab oleh DPRD dan juga eksekutif di daerah-daerah.
Pertama, kemungkinan terjadinya benturan baik secara terbuka maupun terselubung antara DPRD dan kepala daerah atau dengan pejabat birokrasi dan birokrasi daerah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut ini :
1. Politisi baru yang menguasai DPRD umumnya berasal dari lingkungan baru yang sama sekali berbeda dengan politisi di masa lalu. Jika DPRD dulunya lebih dari separoh berasal dari lingkungan birokrasi, kini bagian terbesar justru berasal dari luarnya. Benturan di antara dua kebiasaan atau kulturyang berbeda sangat mungkin terjadi jika tidak sesegeranya ditemukan mekanisme harmonisasi yang tepat.
2. Politisi baru umumnya berasal dari lingkungan yang selama Orba mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari (pejabat) birokrasi. Karenanya, mereka memiliki alasan-alasan (sejarah) yang kuat untuk tidak menyukai birokrasi. Hal ini semakin diperburuk karena bagian terbesar dari politisi baru memiliki keyakinan bahwa birokrat pada dasarnya adalah brengsek, pencoleng, dstnya. Di mata kebanyakan politisi baru, birokrat adalah sumber dari semua KKN dan karenanya, mereka harus terus menerus dicurigai, diawasi dan di atas segalanya dianggap lebih rendah secara moral.
3. Para politisi baru berasal dari lingkungan kekuatan-kekuatan yang selama 32 tahun berada dalam situasi "kalah" atau "dikalahkan". Psikologi kelompok kalah ini bisa sangat beresiko jika tidak dapat dikelola secara dewasa. Salah satu psikologinya adalah kecenderungan "over-acting" dalam bertindak. Hal ini mulai menampakkan diri di banyak daerah di Indonesia.
4. Para politisi baru juga secara umum memiliki tingkat pengetahuan formal dan pengalaman dalam mengelola politik yang lebih rendah dibandingkan dengan birokrat, sementara secara moral lebih baik. Sekalipun rendahnya pengetahuan formal dan pengalaman para anggota dewan baru tidak dengan sendirinya berarti rendahnya kualitas mereka, tidak bisa dipungkiri bahwa sejumlah fungsi dewan, misalnya, fungsi anggaran dan legislasi, mengharuskan setiap anggota dewan memiliki sejumlah pengetahuan teknis tertentu untuk bisa menjalankan fungsinya secara efektif. Dan inilah salah satu persoalan dewan-dewan di seluruh Indonesia saat sekarang. Akibatnya, dewan akan terjebak untuk hanya semata-mata mengeksploitasi "keunggulan moral dan legitimasi politiknya" ketika berhadapan dengan eksekutif. Benturan antara keunggulan pengetahuan teknis dan pengalaman yang dipunyai ekseutif dan keunggulan moral yang dipunyai dewan bisa sangat beresiko.
5. Sebaliknya, para birokrat berasal dari sebuah lingkungan yang selama sekian lama berkuasa. Mereka cenderung arogan, dan menganggap politisi baru sebagai "anak kencur" yang bodoh. Karenanya, mereka secara psikologis dan kultural tidak cuup siap untuk diperintah oleh politisi baru. Konsekwensinya, mereka cenderung untuk meremehkan politisi baru dan karena itu akan mudah memicu konflik di antara keduanya.
6. UU baru juga memberikan kemungkinan untuk munculnya penguasa daerah yang berasal dari kalangan parpol bukan dari lingkungan pemerintahan sendiri. Dengan demikian, birokrasi yang selama sekian lama senantiasa dipimpin oleh "orang dalam" atau "orang sendiri", bisa jadi akan berubah secara drastis. Seseorang yang berasal dari luar birokrasi tanpa pengalaman pemerintahan dan bahkan dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah dari para birokrat bisa saja akan menjadi "penguasa" atas birokrasi lokal. Birokrasi hingga pada jajaran terbawah tampaknya belum seutuhnya dipersiapkan untuk menghadapi situasi baru ini : dipimpin oleh politisi partai yang sama sekali di luar tradisi politik Orba. Sementara politisi non-birokrasi, juga tidak cukup siap untuk meghadapi perubahan besar ini.
Kedua, dalam situasi KKN yang masih sangat kental di daerah-daerah, perubahan locus politik dari eksekutif ke legislatif bisa sekaligus berarti terjadinya perubahan arena KKN dari eksekutif ke legislatif. Peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi, dan nepotisme, akan semakin terbuka di DPRD (I dan II) ketimbang eksekutif. Hingga hari ini, kita belum memiliki perangkat politik yang memadai untuk mengantisipasi bahaya ini. Di masyarakat memang sudah mulai muncul inisiatif untuk memiliki "parlianment watch", lembaga pemantau legislatif, tetapi ia baru merupakan gejala sejumlah kota besar dan gejala nasional, bahkan sebatas gejala pulau Jawa dan belum melebar ke daerah-daerah. Sementara itu, media lokal yang bisa menjalankan fungsi kontrol sosial, tumbuh tidak merata di daerah-daerah dan masih rawan terhadap "intimidasi" dan "politik uang".
Tantangan domestik yang ketiga, juga bersumber pada perubahan peraturan perundang-undangan. Undang-undang baru juga telah berakibat secara serius pada perubahan status kecamatan dan camat.
1. Jika pada masa lalu status kecamatan tidak terlampau jelas, dan dalam prakteknya menjadi bagian dari pemerintah pusat, maka UU baru kecamatan menjadi bagian integral dari teritorial pemerintah daerah tingkat II dan camat menjadi instrumen pemerintahan daerah. Perubahan ini menyebabkan DPRD memiliki "wilayah kongkrit" yang selama sekian lama tidak tersentuh pengawasan politis dewan.
2. Mengingat perubahan-perubahan besar yang terjadi di atas, maka camat dan kecamatan tidak akan lagi menjadi arena yang "bebas" dari campur tangan politisi lokal seperti yang terjadi selama sekian lama. Kecamatan sekaligus menjadi arena bagi politisi untuk masuk ke dalamnya. Demikian pula, camat tidak lagi bisa terbebas dari pengawasan politik para wakil rakyat di daerah. Kontrol politik langsung akan menjadi bagian prinsip pada masa-masa yang akan datang.
3. Demikian pula, bisa jadi rekrutmen camat tidak lagi bersandarkan pada riteria-kriteria karier seperti yang sekarang terjadi, tapi juga melibatkan penilaian politisi yang dilakukan parpol yang berkuasa.
Tiga hal di atas akan semakin penting justru karena tiga paket UU politik baru (UU tentang pemilu, Kepartaian dan Susduk) juga berakibat pada perubahan yang serius pada politik kecamatan. Beberapa perubahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Jika di masa lalu camat menjadi satu-satunya kekuatan atau figur "pengusa" di kecamatan, maka UU politik baru telah menghilangkan hak "monopoli" camat ini. pimpinan-pimpinan partai di tingkat kecamatan ini menjadi "pesaing" dan kekuatan alternatif, sekaligus sebagai kekuatan kontrol atas sepak terjang camat yang tidak pernah ada preseden sebelumnya.
2. UU pemilu yang menempatkan kecamatan sebagai "unit distrik" bagi pemilihan tingkat II telah menempatkan politisi terpilih ikut menempatkan kecamatan sebagai kawasan politiknya. Ia bertanggung jawab dan sekaligus mewakili kepentingan kecamatannya di lembaga legislatif tk II. Dan karenanya, ia memiliki kepentingan untuk terlibat lebih jauh ke dalam politik kecamatan.
3. Dua kondisi di atas mengharuskan adanya perubahan mendasar dalam cara kerja dan sekaligus cara camat melihat persoalan. Munculnya kekuatan-kekuatan tandingan ini, akan menjadi variabel yang sangat menentukan masa depan kecamatan.
Permasalahan pokok yang dihadapi daerah dalam melaksanakan pembangunan politik dalam era otonomi ini adalah :
Peran dan fungsi DPRD, baik sebagai lembaga legislasi dalam penampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat belum optimal, termasuk pula dalam melaksanakan tugas pengawasan.
Sebagian besar Parpol dan Ormas masih menggantungkan kebutuhannnya pada bantuan pemerintah dan dukungan pengurus pusat. Dengan demikian, penetapan dan perumusan kebijakan organisasi masih belum sepenuhnya mandiri dan belum mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat didaerah secara maksimal. Selain itu sistim pengkaderan sebagian Parpol dan Ormas belum berjalan dengan baik.
Masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keberhasilan pembangunan sistim politik yang demokratis dan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kesiapan berbagai pihak untuk berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat diberbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu didukung oleh aparatur daerah yang professional, kreatif dan memiliki kualitas mental yang baik.
Kualitas mental sebagian aparat pemerintah memerlukan peningkatan demi menciptakan lembaga pemerintah yang bersih dari praktek-praktek KKN, sehingga pada gilirannya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Disamping itu "Pergeseran mental" aparat dari yang selama ini cenderung bersifat "Penguasa" (abdi negara) menjadi "Pelayan" masyarakat (abdi masyarakat) perlu terus dikembangkan.
Dari sisi kelembagaan, persoalan yang dihadapi adalah tidak efektif dan efisien struktur pemerintahan daerah. Untuk itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan pengawasan secara berkesinambungan, penataan kelembagaan dan keterlaksanaan, peningkatan kualitas pelayanan publik serta peningkatan kualitas SDM yang diikuti oleh penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung pemerintah umum dan pembangunan yang meningkatnya kesadaran aparatur daerah untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme dan kualitas mentalnya, terbukanya kesempatan untuk menata struktur pemerintahan daerah yang efektif dan efisien, secara terus menerus sesuai perkembangan yang ada, meningkatnya kebutuhan masyarakat pada informasi dan terjaminnya kebebasan pers.
Good governance pada penyelenggaraan pemerintah daerah perlu dirumuskan dengan memasukkan nilai-nilai di masyarakat. Dalam hal menata suatu pemerintahan, kita harus berfokus pada stakeholder yang paling penting, yaitu masyarakat. Adapun, budaya masyarakat barat yang individual tentu berbeda dengan budaya masyarakat kita yang komunal. Nilai-nilai budaya kita di tiap daerah sesungguhnya merupakan modal besar dalam membangun bangsa ini. Karena itu, menerapkan sesuatu dari struktur yang sudah establish dari barat, dengan budaya yang berbeda dan parameter tertentu ke dalam masyarakat kita, justru akan dapat menambah masalah. Hal ini disebabkan kita tidak berangkat dari akar persoalan. Dengan model good governance ini kita harus hati-hati dengan bahaya globalisasi yang melekat.

Dalam kondisi masyarakat yang sedang prihatin karena berbagai bencana, harga-harga yang semakin meningkat, dan banyak persoalan lain, maka model penataan yang tepat tidak hanya pada pemerintahan yang baik melainkan pemerintahan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat (pemerintah yang pemurah). Artinya, pemerintah harus memaksimalkan seluruh resorsis yang tersedia untuk mengatasi problem-problem di masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

No comments: