Tuesday, December 16, 2008

KOMPARASI KODE ETIK PEMERINTAHAN LOKAL DI INGGRIS

Kode Etik Pemerintahan Lokal di Inggris.
Oleh: Tony Du Sautoy (Mantan Walikota Bath, Inggris, kini Konsultan National Democratic Institute)
(sebagai stud komparasi etikapemerintahan di Indonesia)

Latar Belakang histori
Pemerintahan lokal di Inggris selalu menyatakan bahwa mereka memiliki standar etika yang tinggi, namun dari waktu ke waktu etika yang dianut tidak dapat mencegah terjadinya kasus-kasus korupsi baru.

Selama hampir 100 tahun anggota parlemen (council) patuh pada hukum nasional yang didesain untuk mengeliminasi praktek korupsi dan politik uang (money politics). Pada dasarnya setiap anggota harus mendeklasrasikan ”pecuniary interest”. Misalnya saja, jika anggota parlemen mempunyai kepemilikan properti, atau bisnis lain yang memungkinkan untuk mempengaruhi suatu keputusan. Kepentingan-kepentingan itu harus didaftarkan, dan anggota parlemen yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengikuti diskusi publik atau pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingannya tersebut. Sanksi dari ketidakpatuhan ini dapat berupa denda dan atau dipenjara, bahkan dapat didiskualifikasi keanggotaannya.

Peraturan ini sukses dalam menngontrol korupsi, namun lemah dalam kontrol terhadap kolusi atau nepotisme. Oleh karena itu, sejak 1990 asosiasi pemerintahan lokal beserta pemerintah pusat mempelopori adanya sebuah voluntary code of conduct, yang diadopsi secara menyeluruh oleh pemerintahan lokal, namun tanpa sangsi hukum yang signifikan.

Beberapa kasus korupsi besar yang terjadi dalam Parlemen Nasional telah menimbulkan perhatian besar media dan opini publik, yang mengarah pada pembentukan suatu Standar Komisi Nasional dalam kehidupan publik, yang mengarah pada peraturan-peraturan baru mencakup semua tingkatan pemerintah termasuk pemerintahan lokal. Untuk pemerintahan lokal mengarah pada penerapan 10 prinsip, code of conduct yang baru dan sebuah Dewan standar nasional (National Standard Board).

Sepuluh prinsip
Sepulu prinsip yang harus diterapkan oleh konsul terpilih adalah sebagai berikut:
1. Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang secara tidak layal (improperly).
2. Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, tidak berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.
3. Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).
4. Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
5. Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tindakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.
6. Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.
7. Respect for Others: Anggota harus mengedepankan keseteraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.
8. Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan kepercayaan yang diberikan publik kepadanya.
9. Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.
10. Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik.

Sebuah code of conduct bagi para anggota
Kesepuluh prinsip ini harus diinformaskan dalam sebuah rincian aturan perilaku (code of conduct) bagi para anggota. Sebuah model nasional yang telah dipublikasikan dan menjadi acuan bagi seluruh otoritas. Seluruh Konsul Inggris mengadopsi kode (aturan) nasional ini, sementara, beberapa Konsul membuat sendiri aturan mereka. Aturan ini memasukkan daftar properti, pekerja, kontrak-kontrak dan hal-hal yang berhubungan dengan finansial lainnya serta suatu prosedur untuk mencegah keterlibatan individu (personal interest) dalam pengambian keputusan. Terdapat beberapa pengecualian jika keterlibatan itu menyangkut suatu persoalan umum yang berakibat langsung terhadap masyarakat. Sebagai contoh adalah menaikan ongkos transport publik.

Standar komite lokal (local standar committees)
Sebagai tambahan, seluruh konsul harus membuat suatu komite standar untuk pngawasan dan penerapan standar-standar etika tersebut. Hal ini termasuk sangsi bagi anggota yang melanggar aturan. Sangsi ini dapat berbentuk skorsing atau pemecatan (diskualifikasi) terhadap anggota tersebut. Pelanggaran kriminal, penyuapan misalnya, akan diproses dengan sistem hukum yang normal, tetapi pengakuan (terhadap tindakan kriminal tersebut) akan membuat anggota secara otomatis didiskualifikasi oleh komite standar. Komite ini sendiri harus terdiri dari anggota yang independen dan wakil gereja di daerah tersebut.

Dewan Standar Nasional ( The Standards Board)
Untuk mengatur serta mengawasi proses-prosesnya maka dibentuk suatu organisasi nasional. Organisasi ini mengawasi (supervisi) komite-komite lokal, namun yang terpenting, organisasi nasional menerima dan memproses keberatan-keberatan mengenai pelanggaran terhadap codes of conduct ini. Dalam kasus-kasus tersebut, setelah dilakukan penyelidikan dan menganggap bahwa kasus ini layak diteruskan, maka dibentuk satu komisi tribunal untuk mendapatkan satu keputusan (normal conclusion). Keputusan ini akan ditindak lanjuti oleh komite lokal yang berkepentingan.

Kesimpulan
Pemerintahan lokal di Inggris secara umum diyakini bersih. Namum suatu sistem yang mempercayakan penyelenggaraannya pada orang-orang setempat (local people) yang juga dipercaya untuk mengambil keputusan yang bersifat lokal, namun berdampak pada kesejahteraan individu maupun kelompok, selalu akan memberi celah pada segala bentuk korupsi dan kroniisme. Karena itulah diadopsi suatu sistem yang kuat, untuk meyakinkan bahwa wakil-wakil kepercayaan para pemilih dapat memelihara demokrasi (lokal).Namun jika kepercayaan itu hilang atau rusak, maka demokrasi sendirilah yang akan jadi korbannya.

4 comments:

Nasrudin said...

Nasrudin Firdaus
41183506050002

Analisa
Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hal yang perlu disadari bahwa Asosiasi Pemerintah daerah adalah salah satu komponen kecil yang ikut menentukan keberhasilan implementasi Otonomi Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah.
Sebagai kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah telah diberikan kewenangan dan otonomi yang didasarkan pada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab..dan dalam pelaksanaan peran dan Fungsinya pemerintah kabupaten Bogor harus dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan yang baik. Sehingga tidak terjadinya kinerja pemerintahan yang buruk.
Semangat melakukan reformasi disegala bidang kehidupan, antara lain disebabkan oleh ketidakberhasilan bangsa ini dalam mengembangkan sistem penyelenggaraan Tata Kepemerintahan yang baik pada masa lalu. Harus kita akui bersama, secara umum dan kasat mata birokrasi pemerintahan masih perlu ditingkatkan kinerjanya, agar dapat berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun norma-norma yang berlaku dilapisan masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi pemerintahan dituntut untuk dapat meningkatkan kinerjanya dan sekaligus mampu melaksanakan tugas pokok serta fungsinya secara baik dan terukur.
Saat ini, pemerintah sedang berupaya mengubah paradigma dalam menata dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan ke arah yang lebih transparan dan akuntabel. Perubahan itu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman yang semakin maju dan dinamis. Dalam merespon dinamika perubahan lingkungan itu, setiap instansi pemerintah diharapkan dapat menyajikan serta mengevaluasi kinerja aparatur dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya hingga dapat diketahui kinerja masing-masing instansi.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan dapat mendorong tercapainya kepemerintahan yang baik atau “good governance”, memperbaiki kinerja sektor publik dan mengobati praktek-praktek administrasi yang tidak sehat. Selain itu juga, dalam merumuskan penetapan kinerja di instansi masing-masing dengan memperhatikan hal-hal yakni penetapan kinerja harus dipandang sebagai tekad dan janji rencana kinerja tahunan yang akan dicapai, penetapan kinerja menjadi kontrak kinerja yang harus diwujudkan oleh para pejabat sebagai penerima amanah. Dengan penetapan kinerja ini, diharapkan para pimpinan instansi tidak hanya pandai mendapatkan dan menghabiskan anggaran saja, namun juga harus mampu menunjukkan serta mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat, dan terakhir penetapan kinerja merupakan upaya dalam membangun kepemerintahan yang berorientasi hasil, sehingga diharapkan tidak akan ada lagi satu pun instansi pemerintah yang tidak memiliki ukuran dan target kinerjanya.
Sebagai wujud komitmen kita selaku aparatur pemerintahan untuk berupaya meningkatkan kinerja organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja Pemerintahan Daerah.

Dalam sepuluh prinsip yang telah saya baca dalam kode etik pemerintah inggris yang lebih menjadi perhatian dalam kasus dipemerintah kota solok adalah yang pertama Accountability adalah Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian. Sementara hal yang terjadi di Pemerintahan kabupaten Bogor belum begitu akuntabel, kenapa saya katakan demikian, karena tingkat kinerja pemerintah setempat belum memiliki standar maksimal dalam mengembangkan etos kerja para pegawainya hal tersebut dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala daerah yang kurang mengedepankan segala bentuk tugasnya. Untuk menindak lanjuti kasus tersebut perlu sekali adanya peningkatan kinerja yang harus di lakukan pemerintah daerah tersebut guna memperbaiki birokrasi instansi tersebut. yang kedua Selflessness adalah Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang secara tidak layal (improperly). Jadi yang harus menjadi prioritas pemerintah daerah kabupaten di bogor ialah harus mempu menciptakan dan mengedepannya dalam melayani kepentingan public sehingga kepentingan public sendiri jangan sampai diabaikan dan harus menjadi tuntutan utamakan dalam sebuah instansi sehingga peningkatan kinerja pemerintahan daerah pun berjalan dengan baik dan terciptanya Good governance.Yang ketiga objectivity adalah Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit). Dalam penyelenggaraannya pemerintahan daerah harus mampu meningkatkan kinerja para pegawainya dengan membei penghargaan agar supaya kerja para pegawainya dapat berjalan dengan baik karena terdorong oleh rasa persaingan yang mengedepankan sebuah prestasi bagi para pegawai guna meningkatkan semangat kerjanya.
Untuk dapat menyelesaikan kasus yang telah terjadi di pemerintah kabupaten bogor ialah perlunya menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) dan juga perlu adanya penerapan kode etik pemerintahan inggris agar pemerintahan daerah di Indonesia mampu dan dapat mengambil keputusan yang bersifat local untuk menjadikan instansi yang benar-benar bersih, dan kesejahteraan pun dapat dirasakan bersama. Selain itu juga peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dirasakan seiring dengan kualitas pemerintahan daerah yang memuaskan masyarakatnya.

Rony_unisma said...

Nama : Rony Putra Pratama
NPM : 41183506050004
Fakultas/Jur : FISIP/IP

Analisis Permasalahan Jalan Umum di Daerah
Muara Gembong Oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi.

Latar Belakang

Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan landasan yang sangat kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan proses pelayanan publik di daerah. Pemerintah daerah mempunyai ruang yang sangat luas dalam melakukan berbagai inovasi dalam hal pelayanan publik. Beberapa daerah telah memanfaatkan ruang tersebut untuk melakukan terobosan yang sangat penting. Beberapa daerah yang tercatat melakukan terobosan pelayanan publik antara lain : Gorontalo, Jembrana, Blitar, Kota Yogyakarta, Solok, Sidoarjo, Sragen dan Lebak1.
Era Orde Baru, terobosan biasanya bersifat Top Down melalui keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Terobosan biasanya bersifat instruksional dan berlaku seragam antar daerah dengan mengabaikan variasi kebutuhan. Pada kondisi itu, pelayanan publik sering menjadi tidak sensitif kepada kebutuan daerah, inisiatif lokal bermunculan dengan berbagai variasinya dan muncul ketika Pemerintah Daerah mengahadapi masalah.
Beberapa terobosan menarik saat ini yang banyak dilakukan adalah terkait dengan Kerjasama Antar Daerah. Harapannya dengan adanya investasi adalah bahwa tenaga kerja lokal bisa diserap oleh pabrik-pabrik yang dibangun investor di daerah tersebut. Lebih dari itu pebrik-pabrik yang dibangun akan menjadi leverage (pengungkit) bagi kegiatan ekonomi lainnya seperti tumbuhnya usaha pendukung :warung, transportasi,dan lainnya.
Pelayanan publik di wilayah perbatasan sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pada suatu wilayah administratif, yang menjadi berbeda adalah karena adanya disparitas yang pada akhirnya telah memicu wilayah administratif yang berbatasan untuk mencoba menjajaki potensi dan peluang dalam suatu bentuk kerjasama dengan adanya penyadaran bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah mempunyai imbas dan dampak yang cukup kuat untuk wilayah administratif yang kebetulan berbatasan.
Salah satu contoh adalah penyediaan sarana dan prasarana drainase di wilayah perbatasan, ketika sebuah daerah administratif membangun jaringan drainase, harus mempertimbangkan dampak yang akan terjadi ke wiayah lain yang berbatasan. Imbas yang muncul ke wilayah administratif yang berbatasan yang bisa muncul adalah luapan air dari jaringan drainase, genangan atau bahkan sampah. Hal tersebut juga berlaku pada penyediaan sarana dan prasaran jalan dan utilitas perlengkapannya seperti PJU (Penerangan Jalan Umum), rambu APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas). Pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan juga membutuhkan adanya sinkronisasi dengan daerah administratif yang berbatasan.

Analisis Permasalahan
Kabupaten Bekasi sebagai salah satu daerah peyelenggaraan sistem desentralisasi Otonomi Daerah yang bertumpu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengelola pemerintahan daerahnya sendiri telah melaksanakan tentang proses pelayanan publik di daerah yang aturan dan ketentuannya berdasarkan pada pasal 150 Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah yang penyusunannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Dalam hal pembangunan suatu daerah harus melihat dari sisi keuangan daerahnya dan sesuai dengan RPJM dan RPJP daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang/Pendek) yang sumber dananya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Salah satu contoh pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi adalah dengan melakukan pembuatan dan peningkatan fungsi jalan sebagai sarana dan utilitas transportasi publik.
Jalan mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan. Dalam kerangka tersebut, infrastruktur jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekoomi dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Namun demikian fungsi peran dan status jalan seringkali menjadi pemicu munculnya permasalahan terkait dengan pelayanan publik sektor jalan ini karena sangat berkaitan dengan masalah kewenangan dan pembiayaan.
Banyak contoh-contoh kasus penanganan peningkatan jalan di Kabupaten Bekasi yang menjadi masalah. Contoh pada daerah Muara Gembong, proses pembuatan dan peningkatan jalan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi. Akses jalan menuju Kecamatan Muara Gembong kondisinya rusak parah, jalan yang melewati areal persawahan ini dipadati kubangan air berdiameter 2-3 meter dan tidak jarang kemacetan sejumlah kendaraan angkutan umum dan kendaraan berat menuju pantai utara wilayah Kabupaten Bekasi ini padat merayap2. Hal ini mengakibatkan roda perekonomian masyarakat di daerah tersebut menjadi lambat akibat proses perbaikan jalan yang terkatung-katung.
Dalam sistem penganggaran, bahwa setiap proyek yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi harus melihat pada anggaran yang ada dan sesuai dengan APBD daerah. Proses penganggaran yang baik akan menghasilkan suatu kebijakan yang baik pula, apabla dalam penganggaran suatu kegiatan dilakukan secara sepihak dan tidak transparan maka kegiatan tersebut cenderung menimbulkan praktek korupsi.
Sebelum program kegiatan yang akan dimasukkan ke dalam daftar prioritas anggaran, maka Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang didalamnya terdiri dari dinas-dinas daerah yang mengajukan program-program dinas tersebut sesuai dengan program kerja dinas. Dalam pengajuan program kegiatan yang dibahas dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) adalah penyusunan Rencana Strategis (Renstra) dari seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ruang lingkupnya adalah kegiatan-kegiatan yang akan diajukan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) ini para anggota musyawarah yang terdiri dari SKPD-SKD terkait masalah kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang secara tidak layal (improperly). Oleh sebab itu maka kegiatan yang diajukan harus bersifat universal (umum) dan mementingkan kepada pelayanan publik tidak berdasar pada kepentingan politis pihak tertentu.
Dalam proses penganggaran yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit), hal ini disebabkan karena dalam penentuan proyek-proyek kegiatan yang akan dilakukan harus melihat kepada kebutuhan masyarakat dan melihat kepada anggaran yang ada, sehingga nantinya hasil dari proyek kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat berjalan dengan baik.
Contohnya pada kasus penanganan jalan di daerah terpencil masih pilih kasih, karena dalam kenyataannya daerah yang sangat memerlukan jalan sebagai sarana penggerak ekonomi tidak mendapat prioritas anggaran, akan tetapi daerah yang sudah layak infrastruktur jalannya mendapatkan proyek peningkatan jalan, seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Tambun Selatan banyak daerah yang kualitas jalannya sudah baik akan tetapi oleh Pemerintah Daerah ditingkatkan jalan tersebut yang tadinya jalan aspal menjadi jalan cor. Sedangkan daerah seperti Muara Gembong yang kenyataannya daerah tersebut kondisi jalannya yang rusak parah tetapi tidak mendapat penanganan dari Pemerintah Daerah.
Hal ini menyebabkan pandangan masyarakat terhadap Pemerintah Kabupaten Bekasi yang seakan pilih kasih terhadap daerah tersebut, seharusnya Pemerintah Daerah harus mengedepankan keseteraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dalam penanganan jalan sebagai sarana yang paling penting dalam transportasi berjalan dengan lambat akibat proses penganggaran yang teresan berbelit-belit, pada akhirnya laju geraknya roda perekonomian suatu daerah akan berjalan lambat pula.
Tidak hanya jalan pula yang menjadi kendala di daerah Muara Gembong ini, kualitas jalan yang rusak parah ditambah dengan tidak adanya akses Penerangan Jalan Umum (PJU) di kawasan jalan yang rusak mengakibatkan kerawanan bagi pengguna jalan tersebut, dan akses penerangan jalan umum di Kecamatan Muara Gembong sendiri belum merata sepenuhnya3.
Seharusnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi selaku pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan suatu daerah khususnya yang berkaitan dengan saranan dan prasarana umum dan harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian. Sehingga masyarakat sepenuhnya percaya terhadap Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam hal penanganan permasalahan publik, khususnya dalam hal penanganan jalan umum.

Mr. Robi Nupiyanto said...

Robi Nurpiyanto
41183506050005

Analisa Tugas 1
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah. Menguatnya isu Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah.
Perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standard Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Untuk menciptakan kelembagaan pemerintah daerah otonom yang mumpuni perlu diisi oleh SDM yang kemampuannya tidak diragukan, sehingga meried system perlu dipraktekkan dalam pembinaan SDM di daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran peran dari Departemen yang berada di Pusat ke Dinas-dinas di daerah. Demikian juga pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang dahulu dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan Pemimpin Proyek yang diangkat dan ditunjuk oleh Menteri., kini telah diserahkan kewenangan untuk mengangkat dan menunjuk Pinpro kepada pemerintah daerah. Diserahkannya kewenangan pelaksanaan proyek ke daerah berarti diserahkan pula kewenangan pengelolaan keuangan negara yang cukup besar kepada daerah. Sementara tugas pelaksanaan kegiatan dari Departemen secara berangsur-angsur akan menciut dan tinggal pembinaan dengan pembuatan standar-standar baku.
Meningkatnya jumlah anggaran yang dikelola di daerah perlu dibarengi dengan peningkatan kemampuan pengawasan keuangan di daerah . Sebab membengkaknya anggaran di pemda bila tidak diikuti dengan pengawasan keuangan yang memadai tidak tertutup kemungkinan akan menyuburkan praktek KKN di daerah. Untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan pengawasan keuangan di daerah diperlukan pendistribusian aparat pengawasan (Itjen dan BPKP) ke daerah tingkat I maupun TK II. Pengawasan keuangan di daerah tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada DPRD sebab DPRD bersifat politis dan tidak semua anggota DPRD memiliki staf ahli yang mampu dan menguasai seluk beluk pelaksanaan keuangan daerah.
Untuk mengawasi kinerja DPRD yang kini berfungsi sebagai independent yang bertugas memantau kinerja DPRD. Kewenangan yang cukup besar yang dimiliki oleh DPRD ini dapat saja disalahgunakan untuk kepentingan para anggota DPRD sendiri, sementara kepentingan rakyat tetap saja terabaikan. Tugas dari lembaga ini adalah untuk menekan praktek-praktek politik yang kolusif yang dilakukan oleh DPRD dan Kepala Daerah. Pada saat penyusunan RAPBD dan penyampaian Laporan Pertangungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, adalah saat yang kritis dan perlu mendapat perhatian serius dari segenap lapisan masyarakat agar tidak terjadi persekongkolan politik yang merugikan kepentingan masyarakat.
Kasus pemberian mobil dinas kepada setiap anggota DPRD telah mendapat dana sebesar Rp 75.000.000,00 sebagai subsidi pembelian kendaraan. (Republika, 9 Maret 2001) dinilai oleh sebagian perbuatan yang dilakukan agar pertanggungjawaban kepala daerah tidak dipermasalahkan oleh DPRD, padahal masih banyak pos-pos untuk kesejahteraan masyarakat yang perlu dibiayai dari APBD. Disini jelas bahwa demi memuluskan penilaian atas LPJ gubernur telah memanjakan DPRD dengan berbagai fasilitas berlebihan.
Di daerah kasus yang hampir sama juga terjadi di Kab. Purbalingga Jateng dimana utang pribadi anggota Dewan berupa kredit Sepeda Motor senilai Rp. 450.000.000,00 dilunasi dengan anggaran APBD Kabupaten. Hal ini ada kaitannya dengan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Bupati yang disampaikan pada bulan Maret 2001.
Eforia rupanya juga menghinggapi sikap para DPRD sehingga tidak tertutup kemungkinan para anggota DPRD menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki. Lembaga pengawasan Independen ini beranggotakan para tokoh masyarakat, kalangan perguruan tinggi dan LSM yang konsen terhadap Clean Government sehingga perlu mengawal ketat pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia, agar otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, tanpa dibarengi dengan meningkatnya KKN di seluruh daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah me mungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD.
Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.
Berbeda dengan kode etik pemerintah local Inggris yang anggota parlemen mempunyai kepemilikan properti, atau bisnis lain yang memungkinkan untuk mempengaruhi suatu keputusan. Kepentingan-kepentingan itu harus didaftarkan, dan anggota parlemen yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengikuti diskusi publik atau pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingannya tersebut. Sanksi dari ketidak patuhan ini dapat berupa denda dan atau dipenjara, bahkan dapat didiskualifikasi keanggotaannya. Peraturan ini sukses dalam menngontrol korupsi, namun lemah dalam kontrol terhadap kolusi atau nepotisme.

A. Kuswandi said...

komentar dan analisis dari turman dan miftah nggak ada.