Tuesday, December 16, 2008

TUGAS:2: ANALISIS KRITIS MASALAH KORUPSI


Bagi mahasiswa program studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNISMA Bekasi yang mengambil mata kuliah GOOD GOVERNANCE diwajibkan membuat tugas 2(DUA) dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

  • Saudara supaya membaca terlebih dahulu tulisan dalam blog ini yang berjudul :KORUPSI ANGGOTA DEWAN
  • Setelah membaca dengan seksama saudara diharuskan membuat ANALISIS KRITIS atas tulisan yang saudara baca.
  • Analisis dilakukan dengan membandingkan permasalahan korupsi terkait dengan GOOD and CLEAN GOVERNMENT dalampenyelenggaraanpemerintahan Indonesia.
  • Dalam analisis yang dilakukan harus nampak benang merahnya dari konsep hukum/etika pemerintahan , sehingga nampakpermasalahannya dan sebab-sebab mengapakorusi tersebut terjadi.
  • Setelah saudara melakukan analisis kemudian saudara tuliskan pada kolom comments di bawah file KORUPSI ANGGOTA DEWAN. (tuliskan nama dan NPM saudara)
  • Bukti analisis saudara juga harus dibuat hard copy dan dikumpulkan paling telat tanggal 31 Desember pukul 09.00 WIB dimeja saya.
  • Tidak boleh ada jawaban yang sama dengan mahasiswa lain.
    Apabila ada hal yang ingin dikomunikasikan silakan saudara menghubungi : email: aos_kuswandi@yahoo.com atau Telp: 085695551778
    Selamat Belajar

2 comments:

nurul_bali said...

Nurul Hidhayah Djoeharie (41183506050029)
Korupsi Anggota Dewan
ANALISIS:
Kasus-kasus korupsi yang terjadi belakangan ini menambah deretan panjang daftar kesalahan yang dilakukan pemerintah sehingga memperburuk krisis kepercayaan yang sudah berlangsung cukup lama. Praktek korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh para eksekutif, tetapi juga oleh para legislatif, dan bahkan dilakukan oleh para yudikatif, menjadi bencana bagi sistem pemerintahan yang bersih yang selalu didengungkan oleh para penggiat pemerintahan.
Korupsi yang terjadi di ranah pemerintahan Indonesia telah menjadi budaya yang terstruktur sehingga untuk menghilangkannya akan amat sulit dan memerlukan kerja keras yang sungguh-sungguh. Terminologi “Budaya Korupsi” dan “Korupsi yang Membudaya” sangat menyesatkan dan merugikan bagi upaya pemberantasan korupsi. Hal itu karena terminologi ini menempatkan fenomena korupsi menjadi suatu hal yang mustahil dihilangkan karena dianggap sudah menjadi bagian dari budaya.
Bulyan Royan hanyalah merupakan contoh kecil dari ketidakamanahan para wakil rakyat dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya. Penyelewengan kewenangan memang rawan terjadi dalam pelaksanaan pemerintahan apalagi dalam perpolitikan. Banyak hal yang menyebabkan hal ini masih terus terjadi, dari aspek individual, aspek hukum yang belum memberi efek jera, hingga soal kepentingan politik yang begitu besar di gedung dewan.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Emerson Yuntho di atas bahwa penahanan dan penangkapan terhadap anggota dewan juga sangat berpengaruh terhadap reputasi parpol yang dianggap gagal menghasilkan kader yang jujur dan berintegritas. Parpol sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah justru menjadi garda paling depan yang menunjukkan perlindungan terhadap praktek korupsi. Hal ini bisa kita lihat dari upaya-upaya mereka yang menyangkal bahwa praktek korupsi yang dilakukan bukanlah korupsi dengan bermacam alibi yang mereka lontarkan seperti yang diceritakan di atas. Kecenderungan partai politik untuk memilih kader instant untuk maju berlaga dalam arena pemilu dan duduk di kursi pemerintah bisa menjadi salah satu penyebab maraknya praktek korupsi di gedung dewan. Biasanya kader instan yang dipilih adalah mereka-mereka yang memiliki cukup nama di masyarakat atau paling tidak mereka yang popular sehingga kepentingan pilitik menjadi pokok yang paling menonjol dalam setiap pemilihan yang dilakukan.
Bukan berarti bahwa kader instant seluruhnya tidak kompeten duduk dalam pemerintahan. Tetapi memang pada kenyataannya hampir sembilan puluh persen (90%) dari kader instant dipilih bukan karena kemampuan politiknya. Kader yang telah lama menjadi bagian dari parpol saja sering kali tidak loyal jika dihadapkan pada masalah suap, apalagi kader instant yang notabene kurang dalam hubungan secara emosional dengan partai politik apalagi jika bicara soal loyalitas dan kepedulian terhadap masalah rakyat.
Seharusnya partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga kemungkinan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh anggota partai yang banyak duduk sebagai anggota dewan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Meskipun tujuan partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, seperti yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo, parpol tetap harus menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi-fungsi partai politik seperti yang disebutkan oleh Gabriel Almond adalah:
a. Sosialisasi politik
b. Partisipasi politik
c. Rekrutmen politik
d. Komunikasi politik
e. Artikulasi kepentingan
f. Pembuatan kebijakan
Dalam hal ini, jika rekrutmen politik dilakukan dengan benar dan kaderisasi partai di jalankan dengan baik, maka bukan hal yang mustahil untuk dapat mewujudkan anggota dewan yang kompeten dan berintegritas. Tetapi seleksi ketat dan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi para calon anggota dewan yang akan mewakili partai politik juga harus dilakukan.
Sistem pemilihan secara langsung yang kita lakukan saat ini juga rawan terhadap praktek politik uang atau money politik yang pada akhirnya memunculkan beragam tindak korupsi. Beragam kebijakan yang mengatur hal ini harusnya bisa benar-benar diterapkan dan tidak hanya menjadi macan kertas saja. Sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat sesuai dengan apa yang kita inginkan bersama yakni terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Selain itu, perlu dibangun kesadaran moral dalam diri setiap anggota dewan maupun setiap pemegang kekuasaan. Karena meski penegakan hukum dilaksanakan akan tetap terbentur permasalahan yang sama di kemudian hari jika kesadaran moral tidak dibangun untuk membentengi diri. Kesadaran moral juga dibutuhkan untuk dapat mereformasi birokrasi yang tidak hanya korup tetapi juga tidak loyal dan kurang tanggap terhadap berbagai permasalahan yang terjadi.
Reformasi birokrasi menjadi momentum yang penting bagi penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Dan salah satu syarat untuk mewujudkannya adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan atau sistem ketatanegaraan yang bersih (good and clean governance). Ketatanegaraan yang bersih merupakan interaksi antara negara, masyarakat, dan swasta yang ketiganya harus berjalan secara seimbang. Konsep ini tidak menekankan adanya dominasi salah satu komponen yang pada akhirnya dapat merugikan pihak lainnya. Setiap pengambilan keputusan harus melibatkan berbagai pihak dimana tidak adanya otoritas di satu pihak saja. Penting di dalamnya terdapat partisipasi masyarakat baik dalam pembangunan, pengontrolan, dan dalam ketaatan untuk mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang pembangunan yang stabil, efisien dan adil serta bersih dari berbagai praktek korupsi.
Partisipasi masyarakat menjadi syarat mutlak dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Masyarakat harus lebih peduli terhadap segala kegiatan politik yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini, karena apapun keputusan yang mereka ambil bardampak besar bagi kehidupan kita sebagai bagian dari pemerintah dan negara. Masyarakat harus turut aktif sebagai salah satu unsur dalam pemerintahan dan pembangunan. Pembangunan tidak akan terwujud dan terselenggara dengan baik jika masyarakatnya tidak peduli dan tidak berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan. Pemerintah tidak dapat bertindak sebagai aktor tunggal dalam pemerintahan. Pemerintah jelas memerlukan masyarakat sebagai penggerak pembangunan dan sebagai pengontrol dalam setiap kebijakan dan dalam setiap tindakan yang mereka ambil agar terus dapat berada di jalannya sebagai wakil rakyat yang capable dan responsive terhadap kebutuhan rakyatnya.
Jadi pemerintahan yang bersih hanya dapat diwujudkan jika masing-masing unsur dalam pemerintahan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Di mana pemerintah-swasta-masyarakat dapat berjalan bersama, serta partai politik, lembaga kemasyarakatan dan media massa juga turut ambil bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan. Serta penegakan hukum yang tegas dan tidak sekedar menjadi wacana di masyarakat. Dan yang tidak kalah penting adalah kesadaran moral dari para wakil rakyat untuk tetap amanah pada para konstituennya.

NEVA FARADINA said...

NEVA FARADINA
41183506060011
Good Governance – 2

Dalam Negara yang menganut paham dan system demokrasi, pemerintahan dikendalikan oleh rakyat banyak melalui suatu kegiatan politik yang ditampung dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, yang kemudian lebih dikenal sebagai “parlemen”. Di Indonesia dikenal dengan sebutan “Dewan Perwakilan Rakyat”. Lembaga ini pun sering disebut “badan legislative”, karena fungsinya sebagai bentuk perundang-undangan. Mirriam Budiardjo mendefinisikan lembaga perwakilan sebagai lembaga yang “legislate”, yaitu lembaga yang berfungsi sebagai pembentuk kebijakan public. Nama lain yang sering digunakan dan lazim di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena anggota-anggota dianggap mewakili rakyat.
Rekrutmen keanggotaan DPR pada umumnya ada dua mekanisme, yaitu melalui pemilihan umum dan melalui pengangkatan. Kedua cara tersebut digunakan agar kepentingan rakyat tidak diabaikan oleh pemerintah. Di samping mewakili kepentingan rakyat, tugas lainnya adalah mengontrol kinerja pemerintahan. Sejalan dengan itu, menurut David Apter, lembaga legislative merupakan lembaga penting dalam system demokrasi. Karena, lembaga ini mengontrol jalannya kekuasaan, sehingga pemerintah (eksekutif) tidak bisa leluasa untuk berlaku sewenang-wenang. Keberadaan lembaga perwakilan ini tidak hanya ada di tingkat pemerintahan nasional. Di tingkat daerah, keberadaan lembaga legislative merupakan perwakilan di tingkat local. Fungsinya adalah mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat local dan mengontrol jalannya pemerintah daerah. Dari segi tugas dan fungsi tidak ada perbedaan antara lembaga perwakilan tingkat nasional dan daerah, fungsinya sama yaitu membuat perundang-undangan dan mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan.
Lembaga perwakilan tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi secara formalistic, idealnya anggota lembaga perwakilan mencerminkan keinginan, aspirasi dan berpihak kepada rakyat yang diwakilinya, dan bukan berdasarkan atas kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Sebagai perwujudan otonomi dan demokrasi di daerah, dibentuk lembaga perwakilan rakyat daerah atau dikenal dengan DPRD yang merupakan representasi dari aspirasi dan kepentingan rakyat. Dianutnya system demokrasi perwakilan, menjadikan DPRD sebagai wujud kekuasaan rakyat dalam konteks pemerintahan daerah. Lembaga perwakilan yang kuat dan berdaya akan menciptakan hubungan kekuasaan yang seimbang dengan pemerintah (eksekutif). Pemberdayaan ini sangat penting karena salah satu tugas lembaga perwakilan adalah mewujudkan aspirasi dan kepentingan masyarakat ke dalam berbagai kebijakan yang dibuatnya sebagai wujud dari pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga perwakilan.
Menurut Priyatmoko, fungsi lembaga perwakilan secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yaitu representasi, pembuatan keputusan dan pembentukan legitimasi. Representasi adalah fungsi lembaga perwakilan vis a vis keanekaragaman demografis (seks, umur, tempat tinggal), sosiologis (pengelompokan social dan stratifikasi social), ekonomi (jenis pekerjaan dan pemilikan atau kekayaan), cultural (adat, kepercayaan, agama, orientasi social dan kesenian), maupun politik di dalam masyarakat. Seberapa besar keanekaragaman itu terefleksi dalam lembaga ini, apakah tidak ada kelompok yang sengaja atau tidak sengaja terbatasi atau tidak memiliki akses untuk masuk dan memanfaatkan lembaga ini; atau bagaiman komunikasi para wakil rakyat dengan masyarakat merupakan contoh-contoh pertanyaan yang harus dijawab untuk menggambarkan dan menakar fungsi representasi ini.
Fungsi kedua adalah fungsi pembuatan keputusan atau kebijakan yang merupakan fungsi lembaga perwakilan rakyat saat dihadapkan pada berbagai masalah khususnya masalah-masalah pembangunan dan konflik kepentingan di dalam masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan bersama atau tujuan bersama yang disepakati. Ukuran pelaksanaan fungsi ini dapat dilihat dari kemampuan lembaga ini mengantisipasi perkembangan masa depan, mengidentifikasi problem-problem utama dan merumuskan preskripsi untuk mengatasinya serta kemampuannya menjadi mediasi penyelesaian berbagai konflik secara damai.
Fungsi ketiga, pembentukan legitimasi adalah fungsi lembaga perwakilan atas nama rakyat berhadapan dengan pemegang kekuasaan (eksekutif). Badan ini lah yang secara konstitusional membentuk citra pemerintahan secara umum, para pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh baik atau kurang baik, dapat diterima dan didukung atau tidak oleh rakyat. Pelaksanaan fungsi ini akan menentukan stabilitas politik dan iklim kerja bagi pemerintah atau eksekutif yang efektif. Implicit dalam fungsi ini adalah fungsi control. Karena itu, bila lembaga ini terlalu pasif dan tidak pernah memberikan koreksi atau mengingatkan pemerintah, justru lembaga ini yang dapat kehilangan legitimasinya.
Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah, yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari korupsi tersebut.
Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat. Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonomi dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup.
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia.