Tuesday, December 16, 2008

KORUPSI ANGGOTA DEWAN


KORUPSI ANGGOTA DEWAN

Oleh: Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Tulisan ini disalin dari Republika, 7 Juli 2008


Hari Senin, 30 Juni lalu, bisa jadi merupakan hari yang paling nahas bagi Bulyan Royan, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR). Royan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap atau gratifikasi senilai 66 ribu dolar AS dan 5.500 euro terkait pengadaan kapal patroli di Ditjen (Direktorat Jenderal) Perhubungan Laut.

Penangkapan Bulyan Royan menambah daftar oknum anggota dan mantan anggota DPR yang berurusan dengan KPK. Sebelumnya, pada 9 April 2008, KPK menangkap anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP Al Amin Nur Nasution dalam dugaan kasus suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan. Kasus lain yang melibatkan anggota Dewan adalah aliran dana dari Bank Indonesia. Dalam kasus ini, KPK menahan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu. Kemudian pada 2 Mei 2008, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sarjan Taher, ditahan KPK dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan Tanjung Api Api di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan.

Penangkapan sejumlah anggota dewan oleh KPK, tidak saja mencoreng institusi DPR secara kelembagaan, namun juga berdampak pada semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap para wakilnya di Senayan. Institusi DPR masih dinilai belum bersih (steril) dari praktik korupsi.

Fenomena suap yang menimpa para politisi Senayan biasanya muncul pada saat seperti pembahasan rancangan undang-undang, penanganan kasus, pemekaran wilayah, kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah, pembahasan anggaran, pengam bilan suatu kebijakan oleh DPR atau komisi, studi banding ke luar negeri, persiapan rapat dengar pendapat dengan BUMN atau instansi swasta, atau proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and propert test) pejabat publik.

Berulangnya kejadian suap yang melibatkan para politisi juga semakin menunjukkan adanya permasalahan mendasar dari hampir semua anggota parlemen kita yaitu mengenai aspek integritas. Tidak terjaganya integritas legislator akibat proses pengawasan relatif menjadi lemah baik dari internal partai politik (parpol) maupun institusi DPR sendiri.

Penahanan dan penangkapan terhadap anggota DPR juga sangat berpengaruh terhadap reputasi parpol yang dianggap gagal menghasilkan kader yang jujur dan berintegritas.

Keengganan parpol untuk me-recall anggotanya yang bermasalah juga semakin menambah buram citra parpol di mata publik. Seharusnya mereka berada di garis terdepan dalam penegakan hukum dan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Jika dirunut ke belakang, mayoritas parpol di negeri ini tidak pernah melakukan seleksi secara ketat atau bahkan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi para calon legislatif yang akan mewakili partai. Loyalitas dan kemampuan keuangan (finansial) seringkali menjadi faktor menentukan diterima atau tidaknya seorang menjadi kader atau calon legislator. Kriteria kualitas dan integritas bukanlah prioritas utama dan seringkali dikesampingkan.

Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR juga terkesan seadanya dan hanya mengandalkan Badan Kehormatan (BK). Meskipun ada beberapa kemajuan, namun kinerja BK seringkali dinilai meragukan karena adanya tarik-ulur kepentingan dari masing-masing parpol. Pemberian sanksi yang dijatuhkan oleh DPR maupun BK juga tidak memberikan efek jera bagi oknum anggota Dewan.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sedikitnya ada 10 legislator di Senayan yang sedang tersandung kasus korupsi. Sedangkan dalam catatan Badan Kehormatan (BK) DPR, sejak Desember 2005-Juni 2007 terdapat 70 anggota DPR yang diadukan masyarakat karena terlibat sejumlah kasus atau pelanggaran hukum. Jumlah ini masih sedikit dibandingkan dengan legislator di tingkat lokal atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selama empat tahun terakhir, tidak kurang 1.437 orang anggota DPRD di seluruh Indonesia telah diproses secara hukum dalam kasus korupsi, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, hingga yang telah diputus oleh pengadilan.

Sayangnya langkah KPK untuk membersihkan praktik korupsi di lembaga legislatif justru tidak didukung penuh oleh para politisi di Senayan. Dalam kasus terungkapnya dugaan suap yang melibatkan Al Amin misalnya, beberapa anggota Dewan bahkan memberikan pernyataan dan alibi bahwa peristiwa tersebut bukanlah kasus suap. Padahal proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK juga belum tuntas.

Upaya yang dilakukan oleh KPK tidak dilihat dari sisi positif yaitu mendorong pemulihan citra dan kehormatan DPR, namun justru dipandang secara negatif karena menjadi ancaman bagi sebagian anggota Dewan yang katanya terhormat. Kondisi ini justru jadi ajang untuk membangun solidaritas yang sempit dan keliru di antara anggota Dewan dan parpol. Bahkan muncul wacana yang tidak bertanggung jawab yaitu mengenai pembubaran KPK Kondisi itu akhirnya meninggalkan kesan dan pesan bahwa DPR dan parpol belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi di republik ini. Padahal dalam sejarah, seperti terjadi di banyak negara, semisal Inggris dan Cina, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak pernah lepas dari peranan parlemen dan parpol.

Pada sisi lain munculnya musibah yang menimpa anggota DPR layak menjadi pelajaran baik untuk DPR, parpol dan masyarakat. Pertama, institusi DPR perlu memperkuat fungsi dan peran BK DPR dalam melakukan pengawasan dan menjaga kehormatan, membuat etika dan sanksi yang tegas kepada anggotanya yang dinilai justru merusak citra DPR. Selain itu DPR juga tidak perlu malu melibatkan berbagai kalangan seperti KPK, media, maupun masyarakat untuk bersama-sama melakukan kontrol terhadap kinerja dan perilaku para anggota Dewan.

Kedua, parpol di masa datang harus lebih selektif dalam melakukan rekruitmen para kadernya. Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) secara terbatas menjadi layak dilakukan sebelum menentukan orang-orang untuk mewakili partainya sebagai legislator di DPR atau DPRD. Aspek kualitas dan integritas harus menjadi kiteria utama dalam memilih seseorang sebagai wakil rakyat. Parpol juga harus tegas menindak kadernya yang melanggar aturan internal partai dan terlibat praktik korupsi.

Ketiga, sejumlah peristiwa apa yang ditunjukkan sebaiknya menjadi pembelajaran politik bagi masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih politisi yang nantinya akan menjadi wakilnya di DPR. Politisi yang korup dan parpol yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi sudah selayaknya tidak dipilih kembali pada Pemilihan Umum 2009.

Dalam negara yang demokratis, yang dibutuhkan masyarakat adalah parpol dan politisi yang kuat, berkualitas, bersih, dan berjuang kepada rakyat. Bukan sebaliknya, parpol dan politisi korup yang tidak bermoral dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dan partai semata.

7 comments:

Rony_unisma said...

Nama : Rony Putra Pratama
NPM : 41183506050004
Fakultas/Jur : FISIP/IP

Analisis Permasalahan Korupsi

Latar Belakang

Undang–undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyebabkan Sistem Pemerintahan Indonoesia menerapkan Sistem Desentralisasi. Desentraliasasi secara prinsipal di Indonesia dalam bentuk Desentralisasi Perundangan (Regeling) dan Pemerintahan (Bestuur). Namun demikian, desentralisasi dari sudut asal usul bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu “De” atau lepas dan “Centrum” atau pusat. Menurut asal kata desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. Konotasi ini mencerminkan adanya kewenangan dari bagian atau bawahannya untuk melaksanakan sesuatu yang diserahkan dari pusat, dengan tetap adanya hubungan antara pusat dengan bagian atau bawahannya.
Di dalam arti ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi itu adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonom).
Desentralisasi membawa implikasi pada terjadinya pergeseran relasi kekuasaan pusat-daerah dan antar lembaga di daerah. Berbagai perubahan membuka peluang maraknya ‘money politcs’ oleh Kepala Daerah untuk memperoleh dan mempertahankan dukungan dari Legislatif, pemanfaaatan berbagai sumber pembiayaan oleh anggota legislatif sebagai setoran bagi partai politik serta yang paling umum adalah keinginan untuk memperkaya diri sendiri. Peluang korupsi semakin terbuka dengan adanya perbedaan/inkonsistensi peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, kerjasama antara legislatif dan eksekutif serta minimnya porsi partisipasi dan pengawasan publik.
Dilihat dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubunganya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Secara hukum pengertian Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Dalam definisi hukum yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas – batas hukum, untuk mengurus kepentingan sendiri, dan merugikan orang lain. Lebih jelas lagi Syed Hussein Alatas, meringkaskan pengertian korupsi sebagai “pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan”.
Dalam perkembangannya kemudian , perilaku korupsi menjadi satu bentuk transaksi dua pihak : pemegang jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai pribadi swasta.perilaku korupsi makin bergeser menjadi bagian dari hubungan kekuasaan dan pengaruh.
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, menjadikan daerah berwenang untuk menyelenggarakan dan mengelola pemerintahan daerahnya sendiri atau bisa disebut sisitem desentralisasi pemerintahan.
Desentralisasi membawa implikasi pada terjadinya pergeseran relasi kekuasaan pusat-daerah dan antar lembaga di daerah. Berbagai perubahan membuka peluang maraknya ‘money politcs’ oleh Kepala Daerah untuk memperoleh dan mempertahankan dukungan dari Legislatif, pemanfaaatan berbagai sumber pembiayaan oleh anggota legislatif sebagai setoran bagi partai politik serta yang paling umum adalah keinginan untuk memperkaya diri sendiri. Peluang korupsi semakin terbuka dengan adanya perbedaan/inkonsistensi peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, kerjasama antara legislatif dan eksekutif serta minimnya porsi partisipasi dan pengawasan publik.
Sejak tahun 2002 telah terjadi penangkapan kasus dugaan korupsi di berbagai daerah, bila semula laporan korupsi di dominasi oleh DPRD, kemudian kecenderungan korupsi oleh pihak eksekutif semakin meningkat. Berbagai kalangan beranggapan bahwa kebijakan desentralisasi telah menyuburkan korupsi di tingkat lokal. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di daerah, lembaga pemerintahan daerah memiliki kekuasaan lebih banyak terutama dalam mengatur pengelolaan budget yang berimplikasi pada semakin terbukanya peluang terjadinya korupsi.
Dimensi desentralisasi yang paling menonjol dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 antara lain : desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antar lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibandingkan lembaga eksekutif. DPRD memiliki wewenang untuk memilih dan memberhentikan Kepala Daerah serta Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD.
Sistem desentralisasi tersebut pada akhirnya memberikan kekuasaan kepada anggota legislatif untuk melakukan tindakan korupsi karena lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah daerah, karena pemerintah daerah khususnya eksekutif tidak mempunyai wewenang untuk memantau anggaran yang di ajukan oleh dewan. Sebaliknya dewan mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan eksekutif dan menolak laporan pertanggungjawaban yang diajukan oleh eksekutif kepada legislatif.
Lemahnya pengawasan yang hanya dilakukan oleh Badan Kehormatan (BK) Dewan, menyebabkan lemahnya kontrol terhadap kegiatan yang dilakukan dan anggaran-anggaran yang diajukan oleh dewan serta dalam proses pembuatan kebijakan, membuat dewan merasa posisinya semakin tak tersentuh oleh hukum yang berlaku.
Pemberian sanksi oleh Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR) yang ringan tidak membuat efek jera bagi anggota dewan yang melakukan tindak pidana korupsi. Upaya yang harus dilakukan adalah dengan mengawasi anggota dewan oleh badan independent atau diluar sturktur Legislatif itu sendiri. Dengan didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian melakukan pengawasan dan penangkapan bagi anggota dewan yang terlibat kasus korupsi tersebut sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi anggota dewan yang melakukan tindak pidana korupsi.
Sehingga untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) diperlukan suatu sistem pemerintahan yang bebas dari tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Untuk menciptakan sistem ketatapemerintahan yang baik dibutuhkan suatu prinsip yang nantinya diharapkan dapat menjadi tolak ukur maju tidaknya kinerja suatu pemerintahan. Adapun prinsip yang terdapat dalam Good Governance tersebut adalah sebagai berikut :

Partisipasi masyarakat.
Masyarakat mempunyai peran yang sangat penting untuk menciptakan suatu pemerintahan yang bersih dan bebas dari tindak pidana korupsi. Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam hal mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan oleh anggota dewan, apakah sesuai dengan keinginan masyarakat atau tidak. Jika kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan keinginan masyarakat, maka masyarakat berhak untuk menyuarakan pendapatnya ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Pusat (DPR) atau Daerah (DPRD Propinsi atau Kabupaten/Kota).

Tegaknya supremasi hukum
Menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif dan juga memerlukan perlindungan penuh terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), terutama bagi kaum minoritas. Sehingga agar benar-benar terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi dibutuhkan suatu penegakkan hukum yang jelas tanpa pandang bulu, misalnya ketika seorang anggota dewan terkena kasus tindakan korupsi maka hukuman yang harus ia terima setimpal dengan apa yang ia lakukan dan tidak adanya hukum yang berat sebelah karena yang dihukum seorang anggota dewan. Jika penegakkan supremasi hukum ini benar diterapkan, maka pemerintahan yang bersih akan tercipta.

Transparansi
Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengikuti hukum dan peraturan, serta informasi yang tersedia secara bebas dapat diakses langsung oleh masyarakat. Misalnya dalam proses penganggaran pendapatan dan belanja baik nasional maupun daerah (APBN/APBD) yang dilakukan oleh Dewan, seharusnya sebelum dewan mengesahkan anggaran tersebut masyarakat dapat melihat secara transparan berapa biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga ketika ada kelebihan dan kekurangan anggaran, masyarakat publik juga dapat mengetahuinya.

Responsif
Good governance memerlukan institusi dan proses di dalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai. Artinya bahwa setiap kegiatan yang dilakukan harus melihat pada kepentingan publik, sehingga akan terciptanya sebuah tata pemerintahan yang baik (good governance).

Berorientasi kepada konsensus
Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Sehingga dalam melaksanakan kewajibannya sebagai badan legislatif Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) seharusnya melakukan kegiatan yang berorientasi kepada konsensus sehingga akan terlaksananya kepemerintahan yang baik (good governance).

Kesetaraan
Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

Efektivitas dan Efisien
Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya.

Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya.
Ketika pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh badan legislatif seharusnya merujuk pada prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang nantinya akan menuju pada kepuasan publik dan kepercayaan publik kepada badan legislatif tersebut.
Apabila suatu tindakan korupsi yang terjadi di badan legislatif baik pusat maupun daerah, yang seakan-akan tidak pernah hilang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di badan legislatif, dapat dilihat sebab anggota dewan melakukan tindakan kotupsi tersebut adalah :

1. Tidak adanya sanksi yang berat dan tegas oleh Badan Kehormatan (BK)
Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR) adalah suatu bentuk organisasi yang dibentuk di tubuh DPR yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan, menjaga kehormatan, membuat etika dan sanksi yang tegas kepada anggotanya ketika ada anggota dewan yang melanggar kode etik Dewan. Akan tetapi sanksi yang diberikan oleh Badan Kehormatan (BK) kepada anggotanya yang melakukan tindakan melawan hukum tersebut tidak menimbulkan efek jera kepada anggota-anggota Dewan, karena sanksi yang dijatuhkan tidak berat dan tidak tegas yang mengakibatkan tindakan korupsi ini terus berlanjut hingga saat ini.

2. Tidak adanya uji fit and proper test bagi calon anggota dewan.
Partai politik merupakan kendaraan bagi para calon angggota legislatif untuk terpilih dan duduk dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, akan tetapi bila tidak didukung dalam tahap seleksi calon anggota legislatif dan partai politik tidak melakukan uji kelayakan (fit and proper test), maka calon-calon anggota dewan yang akan duduk di lembaga legislatif tidak akan memenuhi kriteria seorang wakil rakyat dan tidak adanya sikap empati kepada masyarakat ketika ada permasalahan yang terjadi di masyarakat. Aspek kualitas dan integritas harus menjadi kiteria utama dalam memilih seseorang sebagai wakil rakyat. Parpol juga harus tegas menindak kadernya yang melanggar aturan internal partai dan terlibat praktik korupsi.
Apabila partai politik menjalankan fungsi partai politik sesuai dengan aturan yang berlaku, maka sebuah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) akan terwujud, serta akan menciptakan suatu tanggung jawab anggota dewan dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai wakil rakyat.

Sarie said...

Nama : Kartika Sari
NPM : 41183506050008
Analisa
Banyaknya kasus korupsi anggota dewan yang bermunculan saat ini, misalnya Bulyan Royan, Al amin Nasution, dll merupakan contoh kecil dari kasus korupsi yang terjadi saat ini, yang menimbulkan ke khawatiran masyarakat terhadap keberlangsungan Negara Indonesia yang semakin terpuruk. Dalam hal ini pemerintah (DPR) sebagai wakil Dari rakyat yang seharusnya melaksanakan amanah yang diberikan oleh rakyat untuk memajukan bangsa Indonesia malah menyalah gunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya dengan mencoba memperkaya diri sendiri. Fenomena suap yang menimpa para politisi Senayan biasanya muncul pada saat seperti pembahasan rancangan undang-undang, penanganan kasus, pemekaran wilayah, kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah, pembahasan anggaran, pengam bilan suatu kebijakan oleh DPR atau komisi, studi banding ke luar negeri atau proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and propert test) pejabat public, dan lain-lain. Hal-hal tersebut terjadi karena para anggota dewan tidak bisa menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, selain itu juga adanya situasi dan kondisi yang mendukung serta memperlancar praktik korupsi anggota dewan, kurangnya transparansi dalam menentukan setiap keputusan, lemahnya ketaatan hukum, masyarakat yang cuek serta mudah untuk dibohongi dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh para politisi sehingga kegiatan korupsi tersebut berjalan mulus tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat.
Banyaknya jumlah penahanan dan penangkapan anggota DPR dan DPRD, maka memicu langkah KPK untuk membersihkan praktik korupsi di lembaga legislative, serta mendorong pemulihan citra dan kehormatan DPR. Namun hal tersebut justru tidak mendapat dukuangan penuh oleh para politisi dan dipandang secara negatif karena menjadi ancaman bagi sebagian anggota Dewan. Dengan demikian tidaklah salah dikalangan masyarakat berpendapat bahwa hampir semua anggota dewan melakukan kegiatan korupsi, karena dirasa kinerja dari pada anggota dewan belum mengalami perubahan yang signifikan bahkan cenderung merugikan serta membodohi masyarakat guna lebih mementingkan kepentingan pribadinya diatas kepentingan rakyat.
Pada dasarnya praktik korupsi didasari dari sifat manusia yang selalu tidak puas, maka hal seperti ini lah yang mengakibatkan kekacauan dalam kinerja anggota dewan sehingga praktik korupsi tersebut sulit untuk diberantas karena dalam penanggulangannya, pemerintah harus menanamkan budaya Clean Government dan Good Governance, yang pada intinya menyatakan bahwa memberantas korupsi harus dicari penyebab terlebih dahulu, kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara peningkatan kesadaran hukum dan pendidikan anti korupsi masyarakat disertai dengan tindakan refresif ( pemidanaan). Selain itu DPR juga tidak perlu malu melibatkan berbagai kalangan seperti KPK, media, maupun masyarakat untuk bersama-sama melakukan kontrol terhadap kinerja dan perilaku para anggota Dewan.
Dalam kasus-kasus korupsi yang terjadi dewasa ini, penyelenggaraan pemerintahan harus mengupayakan tercapainya pemerintahan yang baik. Clean Governement dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah harus melibatkan stake holders yang ada. Baik unsur pemerintah, swasta (dunia usaha) dan masyarakat. Karena tiga komponen ini yang terkait secara langsung. Upaya-upaya dalam rangka menciptakan Clean Government di lingkungan lembaga atau badan penyelenggaraan pemerintahan termamsuk pula pada pemerintahan di daerah dibagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu Strategi Preventif, Strategi Detektif dan Strategi Represif. maka sebetulnya Pelaksanaan Good and Clean Government merupakan suatu tahapan proses yang ideal. Banyak pihak yang mengatakan relative susah untuk mencapainya. Banyak kendala dan hambatan yang merintanginya. Penyebab tidak terjadinya Clean Government dapat dibagi dalam 4 (empat) aspek yaitu aspek individu, aspek organisasi, aspek masyarakat dan aspek peraturan perundang-undangan.
Upaya pelaksanaan clean and good government adalah suatu tahapan proses yang ideal terutama dalam menjalankan roda pemerintahan guna untuk menghindari praktik korupsi terutama pada kalangan DPR dan DPRD yang sangat rentan dengan kegiatan tersebut. Untuk menghidari praktik korupsi tersebut, maka para anggota dewan harus menerapkan 9 prinsip dari good government yaitu: [1] Partisipasi masyarakat, [2] Tegaknya supremasi hokum, [3] Transparansi, [4] peduli terhadap stakeholders, [5] Berorientasi pada consensus, [6] Kesetaraan, [7] Efektivitas dan efisiensi, [8] Akuntabilitas, [9] Visi strategis. Prinsip-prinsip good gonernance tersebut merupakan salah satu cara untuk menjadikan pemerintahan yang bersih yang bebas dari KKN. Dalam memberantas korupsi diperlukan sanksi yang tegas terhadap pelakunya agar terjadi efek jera. Upaya ini juga sebagai tolok ukur dari kinerja kepemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan. sejumlah peristiwa atau kejadian yang terjadi dikalangan politisi serta banyaknya penahanan dan penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap anggota dewan sebaiknya menjadi pembelajaran politik bagi masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih politisi yang nantinya akan menjadi wakilnya di DPR dan DPRD.

Nasrudin Firdaus.Jr said...

Nasrudin Firdaus
41183506050002

Analisa Korupsi Anggota Dewan
Kasus-kasus korupsi yang terjadi pada anggota DPR telah menujukan pemerintahan negara kita belum begitu bersih dalam dan UU No 2/2008 pada prinsipnya sudah memberikan prinsip good governance (tata kelola yang baik) tapi dalam implementasinya sangat disayangkan sekali semuanya terasa vakum sebagai contoh kasus yang dialami oleh Bulyan Royan, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR) pada 30 Juni 2008, dan Sebelumnya, pada 9 April 2008, KPK menangkap anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP Al Amin Nur Nasution dalam dugaan kasus suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan.
Hal ini karena terungkapnya kasus korupsi di lembaga legislatif, adalah hal yang ironis. Legislatif sebagai lembaga yang memproduksi peraturan perundangan seharusnya menghasilkan peraturan yang seharusnya mensejahterakan rakyat. Namun, kini korupsi justru dilakukan oleh orang-orang terhormat yang mempunyai legalitas dan otoritas dalam proses pembuatan peraturan perundangan. Ini artinya bahwa DPR merupakan salah satu institusi yang rentan terhadap korupsi.
Kinerja KPK dapat dikatakan menjadi boomerang bagi DPR dan dapat dapat diakui Kinerja KPK sudah mampu berjalan dengan baik dan seharusnya DPR mampu meniru kinerja tersebut tapi yang terjadi malah anggota dewan sangat ketakutan seiring kinerja KPK yang mempunyai kinerja sesuai dengan pengharapan yang mampu memberantas segala kasus korupsi yang telah terjadi di negara kita baik tingkat nasional atau tingkat daerah.
Dengan kasus seferti ini telah membuat citra DPR menjadi buruk dimata masyarakat, seharusnya DPR disini harus benar-benar menjadi sebuah lembaga yang benar-benar mampu memperjuangkan segala kepentingan rakyat, tapi dengan kasus diatas ternyata peran para anggota DPR jauh dari tujuan tersebut dan hal ini sangat bertolak dengan harapan good governance and clean government.
Minimnya akuntabilitas bisa dijadikan suatu alasan mengapa mereka begitu mudahnya melakukan modus suap. Akuntabilitas yang tidak semua diakses ke publik mengakibatkan masyarakat tidak mudah untuk mengoreksi anggota legislatif atau lembaga peradilan. Lemahnya kontrol inilah yang dijadikan suatu patokan bagi mereka mafia-mafia parlemen kemungkinan besar menyibukkan diri tanpa terkontrol dan cenderung oligarki. Begitu juga dengan transparansi, harus lebih luas, baik terkait kegiatan maupun keuangan partai politik. Bila tiga hal itu terpenuhi, diharapkan good governance dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian, citra partai politik yang selama ini kurang baik dapat diperbaiki, sehingga mampu menjalankan tugasnya yang berorentasi kepada tujuan partai tersebut. Selain itu supremasi hukum yang masih jauh dari harapan harus ditingkatkan agar para pelaku korupsi menjdi takut akan suatu ancaman hukum bagi pelanggar korupsi.
Aspek partisipasi masyarakat adalah Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Dan partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan guna menempatkan posisi masyarakat untuk mewujudkan transparansi agar masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan pemerintahan sebab partisipasi masyarakat disini merupakan factor yang sangat penting dalam mengukur kinerja para anggota dewan yang berasal dari parpol.
Dalam sistem poltik Indonesia parpol merupakan unsure yang tidak dapat dipisah kan oleh anggota Dewan sebab anggota dewan lahir dari parpol tersebut. Dan dalam peranannya partai politik yang sudah menjadi bagian dari Negara sepatutnya menjadi tempat untuk mengawasi setiap kadernya yang menduduki kursi dewan, dan sayangnya yang terjdi ternyata menyimpang.
Agar partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak ditinggalkan masyarakat, perbaikan governance partai politik adalah suatu keniscayaan.Secara umum, partai politik harus berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Di samping itu, partisipasi masyarakat, dunia usaha,dan pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam peningkatan good governance partai politik. Untuk itu perlu dibangun koalisi antara pemerintah, masyarakat,dunia usaha dan partai politik untuk peningkatan good governance,sekaligus untuk pemberantasan korupsi.
Pelaksanaan good governance harus mampu mencapai 3 E, yaitu empower, enable, dan enforce.Pertama, empower masyarakat untuk memperoleh pertanggungjawaban melalui partisipasi dan desentralisasi. Kedua, enable berarti partai politik merespons new demands melalui capacity building partai dan anggotanya. Ketiga, enforce, merujuk pada kepatuhan terhadap perundangundangan dan peraturan partai.
Semoga kedepan pemerintahan indonesia dapat berubah lebih baik yang jauh dari korupsi dan mampu menciptakan good governance, dan anggota dewan yang berasal dari parpol dapat menempatkan peran dan fungsinya dengan baik, selain itu juga parpol diharapkan mampu menciptakan kader yang baru bebas dari korupsi.

tiwimoeth said...

Nama : Ratih Pratiwi
NPM : 41183506050010
FISIP / IP
ANALISA

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat. Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Masyarakat juga turut andil dalam pengawasan bagaimana kinerja pemerintah. Dalam hal partisipasi diharapkan masyarakat aktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Siapapun yang bersalah harus menjalani hukuman sesuai dengan peraturan dan dengan publikasi kasus yang dilakukan sehingga masyarakat menjadi tahu bagaimana kesalahan dan hasil kerja dari wakil yang telah dipilihnya.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Masyarakat juga mempunyai hak untuk mengetahui segala sesuatu yang sifatnya umum. Hal ini mencankup tranparansi informasi public. Lembaga juga bersedia untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang meminta, alangkah baiknya segala sesuatunya dimusyawarahkan dengan melibatkan masayrakat sehingga tercipta rasa percaya dan adanya informasi yang transparan.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Pada pelayanan di Indonesia tidak sedikit masyarakat yang mengeluh tentang kualitas pelayanan yang acuh terhadap masyarakat. Mestinya, lembaga itu berorientasi pada kebutuhan masyarakat sebagaimana yang telah menjadi tugasnya.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Tidak ada diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan, tidak ada perbedaan antara miskin dan kaya. Semua warga mempunyai hak yang sama.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Sesuai dengan kebutuhan dan dengan budget yang ada.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Kaitan dengan prinsip-prinsip good governance diatas, bahwa jika dalam suatu pemerintahan di Indonesia telah terjadi kasus korupsi yang menyeruak hingga saat ini, membuktikan bahwa setiap elemen dari lembaga pemerintahan belum menjalankan sepenuhnya prinsip-prinsip tersebut. Kesimpulannya, penerapan clean and good governance belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah.
Banyaknya kasus korupsi dengan sejumlah penangkapan sejumlah anggota dewan oleh KPK yang tidak hanya mencoreng institusi DPR itu sendiri, tetapi juga mengurangi atau menurunnya rasa kepercayaan masyarakat pada wakil yang telah dipilihnya. Hal ini dikhawatirkan meningkatnya pemilih yang abstain dalam pemilu nanti, karena menganggap bahwa dalam kepemilihannya tidak akan berdampak baik atau sama saja. Krisis kepercayaan ini timbul oleh para wakil rakyat yang tidak bisa memegang amanah sebagaimana rakyat inginkan.
Akan tetapi, bukan hanya itu korupsi timbul karena ada kesempatan dan pengawasan yang kurang efektif atau bahkan saling menutupi kesalahan masing-masing. Hal ini bukan hanya memperburuk image dari DPR tetapi juga parpol yang diragukan integritasnya. Bahkan tidak adanya seleksi yang ketat atau uji kelayakan kepatutan (fit and proper test) bagi para calon legislatif yang akan mewakili partai. Loyalitas dan kemampuan keuangan (finansial) seringkali menjadi faktor menentukan diterima atau tidaknya seorang menjadi kader atau calon legislator. Kriteria kualitas dan integritas bukanlah prioritas utama dan seringkali dikesampingkan.
Faktor uang menjadi hal yang penting apabila seseorang ingin menjadi pejabat. Siapa yang mempunyai uang paling banyak maka dia yang menang. Pengawasan dalam rekrutmen politik tidak berjalan dengan baik, adanya tim KPK tentu sangat membantu dalam proses pemberantasan korupsi dengan tujuan mengembalikan kepercayaan yang mulai luntur dari masyarakat terhasap anggota dewan. Namun hali ini, seringkali dianggap bahwa tim KPK adalah ancaman atau hanya membuat citra buruk bagi institusi yang melakukan korupsi. Hal yang dapat disimpulkan adalah berarti anggota dewan masih ada sebagian yang belum terjaring oleh tim KPK, kalau anggota dewan tersebut tidak melakukan kesalahan mengapa harus takut dan menganggap tim KPK adalah sebuah ancaman, justru dengan KPK malah membantu menuju atau menerapkan tata pemerintahan yag baik dan bersih.
Hal tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin asalkan ada kerjasama antar anggota parpol dan peranan parlemen yang mempunyai kesadaran untuk saling mengingatkan atau mengawasi. Dengan adanya kejadian-kejadian yang menimpa DPR tentu menjadikan hal tersebut sebagai pembelajaran dalam rangka perbaikan citra atau image yang terlanjur buruk. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat. Salah satunya dengan meningkatkan etika demi menjaga kehormatan, sanksi hukum yang tegas, seleksi yang ketat yang tidak berorientasi pada uang tetapi juga pada bagaimana seseorang mampu dan layak untuk menempati suatu jabatan. Parpol juga harus lebih selektif dalam merekrut dan membuat peraturan yang berisi sanksi internal bagi yang melakukan kesalahan bukan malah menutupi kesalahan anggota.
Masyarakat harus menggali pendidikan politik agar mengerti dan lebih hati-hati atau cermat dalam memilih siapa calon wakilnya agar tidak timbul kekecewaan, jika telah terbukti melakukan korupsi sebaiknya tidak dipilih kembali dalam pemilihan nanti. Tentunya masyarakat mempunyai harapan untuk mendapatkan parpol dan politisi yang kuat, berkualitas, bersih, dan berjuang kepada rakyat. Bukan sebaliknya, parpol dan politisi korup yang tidak bermoral dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dan partai semata.
Bila melihat konsep hokum atau etika pemerintahan di Inggris, Indonesia membutuhkan prinsip Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, tidak berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara. Bukan hanya itu, kita harus dapat melihat bagaimana latar belakang dan moral yang dimiliki oleh calon wakil rakyat. Adanya keasadaran dari anggota parpol untuk tidak mencalonkan dirinya apabila merasa tidak pantas untuk menempati suatu jabatan, hal itu lebih terhormat dibandingkan dengan memaksakan diri dengan menghamburkan uang untuk dapat meraih kemenganan dan ketika menjabat malah terlibat kasus korupsi dan dikenakan hukuman, bukan hanya sanksi dari masyarakat pada dirinya sendiri tetapi secara pribadi, telah mencoreng nama baik keluarga.
Hal tersebut jarang diperhatikan dengan kata lain para calon legislative nekat atau bahkan memperebutkan kursi-kursi yang berada di senayan dengan tidak memperhatikan integritas yang ada dalam dirinya juga tidak adanya fit and proper test yang sangat ketat atau bahkan ini menjadikan suatu pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih calonnya dalam pemilu 2009 nanti.

Mr. Robi Nupiyanto said...

Robi nurpiyanto
41183506050005

Analisa tugas 2
Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sudah marak terjadi baik di dalam di tingkat pusat maupun didaerah segala bentuk hukum pun telah di upayakan tetapi tidak memberikan efek jera para pelaku tindak korupsi dikarenakan lemahnya supremasi hukum yang ada di Negara ini. Para koruptor cenderung ingin memperkaya dirinya dengan melakukan tindakan korupsi,Kurangnya kesadaran diri dari pelaku tindakan korupsi bahwa korupsi dapat merugikan Negara yang dampaknya pun akan menyengsarakan masyarakat.
Terkait dengan kasus korupsi yang di alami oleh anggota dewan Bulyan Royan menambah daftar oknum anggota dan mantan anggota DPR yang berurusan dengan KPK. Sebelumnya, pada 9 April 2008, KPK menangkap anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PPP Al Amin Nur Nasution dalam dugaan kasus suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan. Kasus lain yang melibatkan anggota Dewan adalah aliran dana dari Bank Indonesia. Dalam kasus ini, KPK menahan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu. Kemudian pada 2 Mei 2008, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sarjan Taher, ditahan KPK dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan Tanjung Api Api di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan.
Dari kasus di atas ini telah menunjukan bahwa anggota dewan sangat berani untuk melakukan tindakan korupsi, hal tersebut sangat bertolak belakang dari tugas dan pungsinya sebagai wakil rakyat yang harus mengutamakan kepentingan rakyat bukan kepentingan sendiri dengan melakukan tindakan korupsi dan memang sepatutnya anggota DPR yang melakukan tindakan korupsi mendapatkan hukuman yang membuat efek jera bagi para pelakunya.
Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh parpol terhadap kadernya yang menjadi anggota dewan, hal ini dapat menyebabkan terjadinya praktek korupsi;. Dan seharusnya anggota dewan yang berasal dari partai poltik mampu dan mengerti tentang good governance tersebut agar tidak ada penyalahan wewenang terhadap segala tindak korupsi sebab good governance sendiri merupakan sebuah tujuan dari sebuah batasan untuk menciptakan pemerintahan yang benar-benar bersih dari penyimpangan peran dan pungsinya sehingga kewibawaan anggota dewan pun menjadi baik di mata masyarakat.
Untuk mendapatkan kader yang baik bagi parpol yang nantinya akan menjadi anggota dewan sebaiknya partai politik menyeleksi setiap calon kadernya agar dapat mengembalikan nama baik parpol yangt selama ini di nilai buruk di mata masyarakat. Sehingga peran parpol tidak bergeser dari tujuannya.

ade cute said...

Nama : Ade Rosita
Nim :41183506050014


Otonomi daerah memberikan wewenang kepada setiap daerah untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Undang–undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyebabkan Sistem Pemerintahan Indonoesia menerapkan Sistem Desentralisasi. Pada pelaksanaan otonomi daerah yang diterapkan diindonesia ini memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahannya sendiri, akan tetapi hal ini juga dapat memberikan dampak negatip pada pelaksanaannya karena kurangnya control dari pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya. Sehingga adanya penyelewengan dana pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggotan legislative. Pada kenyataannya ini berarti terjadinya korupsi di pemerintahan yang terjadi pada anggota DPR yang notabennya sebagai wakil rakyat yang seharusnya melaksanakan amanah yang diberikan oleh rakyat untuk mensejahterakan bangsa dan sebagai acuan rakyat karena DPR merupakan wakil rakyat yang seharusnya menampung aspirasi rakyat dan merupakan jembatan untuk menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Tapi ini mereka lebih mengutamakan kepentingannya sendriri untuk memperkaya dirinya sendiri. Hal-hal yang menyebabkan munculnya korupsi di anggota DPR biasanya terjadi dalam pembahasan rancangan undang-undang, pengambilan kebijakan, study banding kesuatu wilayah, pembahasan anggaran dan masih banyak hal-hal yang menyebabkab terjadinya korupsi dianggota dewan.
Seperti kasus korupsi yang dilakukan Hamka Yandhu (HY), tersangka kasus dugaan aliran dana Bank Indonesia (BI),. Korupsi yang terjadi ini karena tidak adanya control dari pemerintah dalam upaya pelaksanaan clean and good government. Karena dalam penerpan clean and good governance itu merupakan suatu tahapan proses dalam menjalankan roda pemerintahan karena untuk menghindari kasus korupsi yang sekarang sudah membeludak pada kalangan DPR maupun DPRD yang memang sangat dekat dengan korupsi.DPR harus menrapkan 9 prinsip dari good governance:
• Partisipasi masyarakat,
• Tegaknya supremasi hokum,
• Transparansi,
• peduli terhadap stakeholders,
• Berorientasi pada consensus,
• Kesetaraan,
• Efektivitas dan efisiensi,
• Akuntabilitas,
• Visi strategis.
Prinsip-prinsip good governance itu seharusnya jadi acuan bagi para anggota DPR untuk menghindari korupsi karena dengan adanya prinsip-prinsip good governance tersebut diharapkan Indonesia bersih dari kasus korupsi. Mereka yang sudah tertangkap karena kasus korupsi harus dihukum seadil-adilnya karena apa yang mereka lakukan sangat merugikan masyarakat dan Negara karena mereka hanya memperkaya dirinya sendiri. Jika hokum yang mengatur tentang tindakan korupsi ini benar-benar berjalan mungkin Indonesia akan bersih dari kegiatan korupsi yang dilakukan oleh anggota dewa tersebut.
Kebijakan pemerintah yang sudah dituangkan dalam undang-undang anti korupsi seharusnya dapat menjadi acuan agar tidak adanya kasus korupsi dan mewujudkan clean and good governance. Sanksi-sanksi hokum yang diberikan juga harus memberikan efek jera kepada pelakunya agar tidak ada lagi kasus-kasus serupa yang menghiasi Negara kita dengan kasus korupsi.. sebaiknya juga dalam pengrekrutan kader partai juga dilakukan
proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and propert test) agar kader partai yang terpilih menjadi anggota dewan juga berkualitas. Dengan adanya proses tersebut mengkin angka korupsi bias ditekan.

sby said...

Tugas 2
Nama : Miftaqul Jarod
NPM : 41183506050011
ANALISIS
KORUPSI ANGGOTA DEWAN

Anggota DPR merupakan wakil rakyat yang memiliki peranan untukmelaksanakan amanah yang diterimanya namun dalam kenyataannya ,menunjukan bahwa beberapa anggota ”dewan yang terhormat” telah bertindak korup dengan menegosiasikan kebijakan dengan harga tertentu . Kasus korupsi yang melibatkan para politisi di DPR menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk semakin tidak percaya dan skeptis pada wakil-wakilnya.
Fenomena suap terjadi pada proses pembahasan rancangan undang-undang,penanganan kasus,pemekaran wilayah,kunjungan kerja ke suatu daerah, pembahasan anggaran ,pengambilan suatu kebijakan , studi banding ke luar negeri ,rapat dengar pendapat dengan BUMNdan instansi swasta, proses uji kelayakan pejabat publik dikalangan anggota dewan menjadikan DPR sebagai pusat episentrum korupsi politik.
Korupsi anggota DPR menunjukan bukti bahwa telah terjadi penyalahgunaan kewenangan pengawasan ,legislasi dan pengannggaran yang dimiliki DPR. Di bidang monitoring ,misalnya muncul kasus pengalihan lahan hutan lindung. Pada proses legislasi muncul kasus korupsi aliran dana dana BI untuk memuluskan pembahasan Undang-Undang Bank Indonesia. Dibidang Budgeting ,banyak muncul kasus terkait dengan pengadaan barang dan jasa .Penyelewengan tersebut menunjukan bahwa proses penyelenggaraan emerintahan kita masih jauh dengan konsep dari good and clean goverment.
Fenomena korupsi di dewan tersebut dapat kita analisis berdasarkan unsaur prinsip-peinsip good governance sebagai berikut :

1. Partisipasi Masyarakat yang masih relatif rendah.
Hal dapat kita lihat dari Rekrutmen Parpol yang buruk dan terbatas ,artinya hanya dikuasai tiga unsur yaitu aristokrat, saudagar Atau pengusaha serta jawara sehingga memicu tindakan korupsi.
Menurut Boni Hargens bahwa seluruh parpol di Indonesia belum mandiri secara finansial . Kader parpol baik yang sudah duduk sebagai anggota DPR,bupati , walikota ,gubernur ,sampai menteri sebagi lumbung uang sehingga sumbangan kader menjadi sandaran parpol untuk memenuhi operasionalnya, dimana parpol hanya memikirkan bagaimana membiayai infrastruktur partai ketimbang menjalankan perannya. Keadaan tersebut memicu buruknya proses rekrutmen parpol dimana aspek kualitas dan integritas kader dikesampingkan .Loyalitas dan kemampuan finansial menjadi faktor yang menentukan dalam rekrutmen calon legislator tersebtu. Akibatnya kita menyangsikan kualitas dan integritas anggota dewan.
Jika perekrutan kader partai itu buruk dan tidak transparan akan sangat berbahaya sebab parlemen yaitu DPR akan menghasilkan kebijakan yang merugikan masyarakat.

2. Tegaknya supremasi hukum
Upaya penyeleseian secara hukum atas setiap penyimpangan yang terjadi belum optimal dan bahkan masih diragukan.. Hal ini dikarenaka adanya oknum aparat penegak hukum yang masih terlibat bergai kasus korupsi di Indonesia.
3. Transparansi
Seluruh proses pemerintahan ,lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diaksese oleh pihakpihak yang berkepentngan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Maraknya praktek suap di DPR , termasuk dalam kasus dan aBI , dinilai akibat tidak transparanya rapat pembahasan rancangan undang-undang .Maka perlu adanya aturan mewajibkan setiap komisi untuk membuka hasil rapat , misalnya hasil pembahasan rancangan Undang-Undang kepada publik, pimpinan harus menetapkan sekaliguas mengawasi penjadwalan pembahasnn RUU.
4. Efektifitas dan Efisiensi
Hasil maupun dampak kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan belum sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dalam pemanfaatan sumber-smber daya secara optimal. Hal tersebut kita lihat banyaknya kebijakan dan program yang sangat membebani masyarakat misalnya saja konversi minyak tanah ke gas yang saya kira kurang perencanaan yang matang.
5. Akunntabilitas
Maraknya praktek suap di Dewan menunjukan bahwa rendanhnya pertanggung jawaban para pengambil keputusan publik kepada masyarakat maupun kepada lembaga yang berkepentingan. Lemahnya fungsi pengawasan Internal yang dilakukan Badan Kehormatan DPR masih lemah juga merupakan kurangnya pertanggung jawaban tersebut.
Kinerja Badan Kehormatan (BK DPR) belum optimal disebabkan adanya tarik ulur kepentingan dari masing-masing parpol , maka perlu adanya terobosan baru yang bersifat prefentif untuk memaksimalkan fungsi pengawasan tersebut. Pengawasan eksternal yang berbentuk lembaga atau sebuah komisi juga memungkinkan untuk dilakukan. Inisiatif KPK yang meminta izin ke DPR untuk menghadiri sidang Anggaran APBN 2009 perlu kita dukung sepenuhnya. Sebab KPK memiliki kewenangan Preventif yang secara tegas diatur dalam pasal 6 huruf d Undang-Undang KPK yaitu bahwa ”melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi”. Mengenai kewenangan pengawasan diatur dalampasal 6 huruf e ,yaitu KPK”melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara”. Adapun ketertutupan rapat anggaran di DPR tidak ada dalam Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR. Dengan demikian ,seharusnya DPR tidak alergi dengan inisiatif KPK untuk ikut dalam rapat pembahasan anggaran DPR. Terlebih KPK hanya sebagai pemantau yang tidak ikut mempunyai suara ,apalagi penentu dalam pengambilan keputusan.

6. Visi Strategis
Berbagai kasus yang mendera para anggota dewan dan politisi kiata mengisyaratkan bahwa para pemimpin kita masih banyak yang memiliki perspektif yang sempit dan jangkauan yang pendek artinya masih berkutat pada kepentingan pribadi maupun pada kelompoknya.
Beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan seharusnya menjadi sebuah pembelajaran berpolitik bagi masyarakat pemilih untuk lebih cermat dalam memilih para wakilnya di DPR. Politisi yang korup dan parpol yag tidak mendukung langkah pemberantasan korupsi sudah selayaknya tidak dipilih untuk pemilu mendatang.Sehingga diharapkan dari pemilihan umum tersebut menghasilkan anggota dewan yang memiliki kualitas dan integrigas yang unggul dan selanjuntnya menjadikan lembaga perwakilan dengan kredibilitas yang tinggi pula. Apabila hal tersebut terjadi maka konsep maupun karakteristik good governance bisa segera terwujud dimana setiap lembaga kenegaraan berfungsi sebagaimana mestinya.
Sistem tata negara kita masih terjadi berbagai anomali pada masalah peran maupun fungsi yang diterapkan oleh lembaga kenegaraan kita. Keanehan itu bisa kita lihat dimana peran DPR yang seharusnya mengawasi jalannya pemerintahan eksekutif akan tetapi malah melakukan pelanggaran itu sendiri termasuk tindakan korupsi. Kasus lain yaitu terlibatnya jaksa dalam kasus korupsi padahal ia seharusnya menjadi ujung tombak dalam pemberantasan korupsi.
Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus melibatkan stake holder yang ada , baik dari unsur pemerintah, swasta (dunia usaha) dan masyarakat dengan memegang teguh prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaan setiap tahapan penyelenggaraan pemerintahan.