Thursday, November 20, 2008

MENCARI FORMAT PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFISIEN, EFEKTIF DAN KOMUNIKATIF

Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekueansi tidak hanya terhadap dinamika politik, melainkan juga terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu upaya pembangunan sistim politik yang demokratis, khususnya dalam mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah yang pada masa Orba sangat sentralistik, adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Konsekwensi dari pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah terjadinya berbagai perobahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Keberadaan pemerintah daerah akan sangat ditentukan oleh keputusan yang lebih demokratis oleh rakyat didaerah. Demikian pula pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, akan sangat ditentukan oleh masyarakat didaerah. Dalam hal ini posisi dan peran DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan kehendak masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Lembaga ini harus mampu menampung dan memperjuangkan menyalurkan aspirasi dan kehendak masyarakat serta menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan umum secara optimal.
B. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Terdapat tiga azas dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah merupakan azas yang mengedepankan kewenangan daerah dalam pengelolaan urusan pemerintahan di daerah . Sedangkan dua azas lainnya masih terkait dengan keterlibatan pemerintah pusat di daerah dalam hal pengelolaan urusan tertentu.
Sebagai sebuah azas, desentralisasi harus diterjemahkan dalam bentuk kongkrit, baik berupa sistem pengaturan maupun instrumen pengaturan. Otonomi daerah merupakan salah satu bentuk kongkrit dari terjemahan di atas. Otonomi merupakan sebuah sistem sekaligus kondisi dimana daerah-daerah menemukan mekanismenya sendiri. Mekanisme sendiri ini menyangkut keseluruhan mata-rantai pengambilan keputusan dimulai dari perencanaan, aplikasi hingga pengawasannya.
Organ yang secara prinsip menjalankan "mekanisme sendiri" ini adalah pemerintah daerah. Secara konseptual pemerintah daerah adalah organ politik yang memiliki kewenangan untuk "mengatur" dan "mengurusi" rumah tangga sendiri.
1. Kewenangan "mengatur" adalah kewenangan legislasi yang dimiliki setiap daerah otonomi. Ia meliputi kewenangan dalam menyusun policy (Perda), kewenangan mengatur distribusi dan spending sumber-daya dan keuangan (APBD) atau Discretionary power, kewenangan untuk mengawasi dan meminta pertanggung-jawaban penyelenggaraan pemerintahan, serta kewenangan untuk menentukan pejabat-pejabat politik (political power) dalam hal pemilihan kepala daerah, dstnya. Adanya sejumlah kewenangan yang melekat dalam setiap otonomi daerah inilah yang melegalisasi secara politis keberadaan lembaga perwakilan rakyat di daerah-daerah (DPRD). Dengan kata lain, lembaga perwakilan rakyat hadir justru sebagai konsekwensi dari tuntutan yang inherent dalam konseptualisasi tentang otonomi daerah.
2. Kewenangan "mengurus" adalah kewenangan eksekusi yang dimiliki oleh cabang eksekutif pemerintahan daerah. Hal ini meliputi segala urusan yang oleh UU telah diserahkan menjadi urusan daerah.Jika UU baru (nomer 22 tahun 1999) dicermati, maka tampaknya kedua hal tersebut di atas, sudah terakomodasi secara cukup berarti dalam UU baru tentang pemerintahan daerah ini. tetapi betulkah demikian ?
C. TANTANGAN DOMESTIK
Dibandingkan dengan UU 5/74, UU pemerintahan daerah yang baru memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi daerah-daerah untuk memiliki berbagai kewenangan di atas. Dalam hal penentuan policy, politik keuangan, penentuan jabatan-jabatan politik, dan pengelolaan pemerintahan, daerah-daerah, terutama tingkat II mendapatkan ruang yang lebih besar. Sekalipun demiian, ada beberapa hal penting yang harus dicatat yang bisa saja bersifat negatif bagi daerah-daerah. Dan inilah salah tantangan terberat DPRD. Kesemuanya merupakan akibat atau konsekwensi dari terjadi perubahan landasan konstitusional pengaturan politik lokal. Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa saja berakhir sebagai otoritarianisme baru ditingkat lokal apabila tidak terjadi proses demokratisasi di tingkat lokal. Hal ini disebabkan karena belum terjadi perubahan mendasar pada tingkat struktur dan kultur politik di daerah-daerah. Struktur dan kultur politik lama yang bercorak otoritairan masih tetap bertahan dan bahkan mendominasi daerah-daerah. Sekalipun di lingkungan eks-karisidenan Banyumas, serta kawasan Jawa secara keseluruhan, kontrol legislatif yang kuat telah menyulitkan struktur dan kultur otoritarian eksekutif semakin melunak, ada resiko bergesernya otoritarianisme ke arah legislatif. Kecenderungan "legislatif" untuk mengintervensi jauh ke dalam urusan eksekutif atau memaksakan kehendaknya pada eksekutif, bisa menjadi gejala baru. Karenanya, bagaimana menemukan format yang tepat agar supaya tidak terjadi pergeseran dari otoritaianisme birokrasi ke arah otoritarianisme oleh DPRD atau partai merupakan tantangan serius bagi dewan.
2. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa berakibat pada bangkitnya kembali aristokrasi lokal yang menyebakan struktur feodalisme semakin kuat di daerah-daerah. Hal ini terutama berbahaya bagi daerah-daerah yang memiliki struktur feodalisme lokal yang kuat. Ini sangat berbahaya karena bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut rata-rata negara modern. Bagi daerah-daerah eks-karesidenan Banyumas, gejala ini memang tidak menonjol karena ia lebih merupakan gejala luar Jawa, terutama di kawasan Timur Indonesia. Akan tetapi sebagai sebuah kemungkinan, ia tetap harus diperhatikan.
3. Kewenangan yang besar di daerah-daerah bisa jadi akan berakibat pada terjadinya penindasan oleh kekuatan primordial (baik atas dasar etnik maupun agama) yang besar atas kekuatan primordial yang kecil, terutama di daerah-daerah yang didominasi oleh salah satu kelompok primordial. Daerah yang didominasi oleh satu etnik atau agama misalnya, bisa dengan mudah menggunakan kewenangan yang besar untuk menindas atau paling tidak mendiskriminasi kelompok etnik atau agama minoritas lainnya. Ini pun sangat berbahaya karena demokrasi melibatkan pengertian tentang pemerintahan oleh mayoritas (yang dicapai melalui pemilu, bukan melalui statistik), tapi sekaligus perlindungan atas minoritas. Potensi ke arah ini sangat besar diberbagai daerah di Indonesia. Di Banyumas, potensi negatif ini juga tersedia, sekalipun mungkin tidak merata di semua kabupaten dan tidak sebesar potensi yang dimiliki daerah-daerah lain. Sekalipun ia bukan bersumber pada politik formal pemerintah, tekanan massa primordial bisa dengan mudah memaksa elit politik, termasuk anggota dewan untuk melakukan langkah-langkah diskriminatif terhadap kelompok kecil demi untuk memberikan kepuasan pada massa agar supaya tertib sosial bisa diwujudkan.
4. Kewenangan yang besar di daerah-daerah bisa jadi akan berakibat pada terjadinnya konflik horisontal di antara kelompok-kelompok primordial yang saling berebut pengaruh, terutama di daerah-daerah di mana kelompok-kelompok primordialnya sebanding secara kuantitas dan politis. Hal ini sangat rawan ketika mekanisme penyelesaian konflik belum terlembaga, sementara potensi konflik sedemikian besarnya. Apa yang terjadi di Ambon dan terakhir di Sambas adalah contoh-contohnya. Sialnya, kedua kondisi, yakni kealpaan mekanisme penyelesaian yang melembaga dan besarnya potensi konflik, sangat menonjol di berbagai daerah. Konflik primordial dengan skala seperti yang terjadi di Maluku memang sulit untuk terwujud di Banyumas. Akan tetapi, sengketa horisontal antar pendukung kekuatan politik sekali lagi karena keseimbangan kekuatan bisa menjadi salah satu titik rawan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, konflik internal pendukung satu partai politik karena kekuatannya sangat besar - bisa meluas menjadi problema politik internal daerah yang sulit untuk dipecahkan. Karenanya, penyelesaian persoalan-persoalan internal masing-masing partai besar dengan cara-cara damai merupakan keharusan untuk mencapai sebuah tertib politik dan sosial di kawasan ini.
5. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa jadi akan semakin mengentalkan KKN, terutama di daerah-daerah di mana struktur KKN sangat kuat dan atau di daerah-daerah dengan sistem keluarga besar (extended family system) yang kental. KKN sudah merupakan gejala struktural dan kultural di seluruh Indonesia. Pengalihan kewenangan ke daerah-daerah akan semakin memperluas peluang ini justru karena kontrol dari atas menghilang sementara kontrol dari bawah masih belum terbangun. Ia semakin rawan jika dalam daerah yang bersangkutan sistem extended familynya masih bekerja secara efektif di mana satu orang merepresentasi dan bertanggung jawab pada sebuah klan keluarga besar. Bahaya terbesar adalah dalam hal rekrutmen dan promosi jabatan. Tetapi yang juga sama berbahaya adalah dalam hal distribusi sumberdaya lokal dan distribusi politik. Distribusi sumberdaya lokal bisa jadi akan lebih dituntun oleh sentimen-sentimen kedaerahan dan kepartaian dan jauh dari pertimbangan obyektif. Sumber KKN lainnya adalah kekenyalan jaringan ideologi kepartaian. Bagi Banyumas KKN yang bernuansa ideologis-kepartaian ini terbuka cukup besar. Distribusi resources lokal berdasarkan pertimbangan kepartaian dan afiliasi ideologi kawasan bisa terjadi. Dan ini akan semakin merumitkan persoalan KKN dan bahkan bisa menjadi sumber sengketa politik antar pendukung partai dan elit partai.
6. Kewenangan yang besar yang dimiliki daerah-daerah bisa saja berakibat pada pemborosan sumber daya dan keuangan daerah, terutama untuk daerah-daerah di mana kecenderungan politisasi sedemikian kuatnya yang diikuti oleh kecenderungan untuk "membeli dukungan" politik rakyat daerah. Kecenderungan money politycs yang meluas selama masa pemilu lalu, bisa menjadi gejala permanen di daerah-daerah, justru karena adanya kepentingan politisi lokal untuk mendapatkan dukungan dari rakyat daerah. Resikonya, akan banyak "pengeluaran daerah" yang semata-mata dimaksudkan dan didasarkan pada tujuan-tujuan politik ketimbang tujuan-tujuan lainnya. Banyumas, saya kira menyimpan banyak potensi ke arah ini. Di samping keenam persoalan di atas, perlu digarisbawahi bahwa UU yang baru dikombinasikan dengan UU politik yang baru, akan berakibat pada terjadinya pergeseran secara drastis "pusat kekuasaan" di daerah-daerah dari birokrasi (eksekutif) ke legislatif. Kekuasaan yang dulunya berada di tangan eksekutif secara pasti akan beralih ke legislatif.
Perubahan di atas secara positif memang membuka kemungkinan bagi berkembangnya demokrasi dan sistem pemerintahan yang semakin akontabel, transparan dan bahkan bersih karena adanya kontrol politik yang kuat oleh dewan. Tetapi pada saat yang bersamaan perubahan di atas mengandung beberapa resiko apabila perubahan ini tidak diikuti oleh perubahan mendasar dalam hubungan keduanya. Dan inilah tantangan kedua yang menurut saya sangat besar yang harus dijawab oleh DPRD dan juga eksekutif di daerah-daerah.
Pertama, kemungkinan terjadinya benturan baik secara terbuka maupun terselubung antara DPRD dan kepala daerah atau dengan pejabat birokrasi dan birokrasi daerah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut ini :
1. Politisi baru yang menguasai DPRD umumnya berasal dari lingkungan baru yang sama sekali berbeda dengan politisi di masa lalu. Jika DPRD dulunya lebih dari separoh berasal dari lingkungan birokrasi, kini bagian terbesar justru berasal dari luarnya. Benturan di antara dua kebiasaan atau kulturyang berbeda sangat mungkin terjadi jika tidak sesegeranya ditemukan mekanisme harmonisasi yang tepat.
2. Politisi baru umumnya berasal dari lingkungan yang selama Orba mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari (pejabat) birokrasi. Karenanya, mereka memiliki alasan-alasan (sejarah) yang kuat untuk tidak menyukai birokrasi. Hal ini semakin diperburuk karena bagian terbesar dari politisi baru memiliki keyakinan bahwa birokrat pada dasarnya adalah brengsek, pencoleng, dstnya. Di mata kebanyakan politisi baru, birokrat adalah sumber dari semua KKN dan karenanya, mereka harus terus menerus dicurigai, diawasi dan di atas segalanya dianggap lebih rendah secara moral.
3. Para politisi baru berasal dari lingkungan kekuatan-kekuatan yang selama 32 tahun berada dalam situasi "kalah" atau "dikalahkan". Psikologi kelompok kalah ini bisa sangat beresiko jika tidak dapat dikelola secara dewasa. Salah satu psikologinya adalah kecenderungan "over-acting" dalam bertindak. Hal ini mulai menampakkan diri di banyak daerah di Indonesia.
4. Para politisi baru juga secara umum memiliki tingkat pengetahuan formal dan pengalaman dalam mengelola politik yang lebih rendah dibandingkan dengan birokrat, sementara secara moral lebih baik. Sekalipun rendahnya pengetahuan formal dan pengalaman para anggota dewan baru tidak dengan sendirinya berarti rendahnya kualitas mereka, tidak bisa dipungkiri bahwa sejumlah fungsi dewan, misalnya, fungsi anggaran dan legislasi, mengharuskan setiap anggota dewan memiliki sejumlah pengetahuan teknis tertentu untuk bisa menjalankan fungsinya secara efektif. Dan inilah salah satu persoalan dewan-dewan di seluruh Indonesia saat sekarang. Akibatnya, dewan akan terjebak untuk hanya semata-mata mengeksploitasi "keunggulan moral dan legitimasi politiknya" ketika berhadapan dengan eksekutif. Benturan antara keunggulan pengetahuan teknis dan pengalaman yang dipunyai ekseutif dan keunggulan moral yang dipunyai dewan bisa sangat beresiko.
5. Sebaliknya, para birokrat berasal dari sebuah lingkungan yang selama sekian lama berkuasa. Mereka cenderung arogan, dan menganggap politisi baru sebagai "anak kencur" yang bodoh. Karenanya, mereka secara psikologis dan kultural tidak cuup siap untuk diperintah oleh politisi baru. Konsekwensinya, mereka cenderung untuk meremehkan politisi baru dan karena itu akan mudah memicu konflik di antara keduanya.
6. UU baru juga memberikan kemungkinan untuk munculnya penguasa daerah yang berasal dari kalangan parpol bukan dari lingkungan pemerintahan sendiri. Dengan demikian, birokrasi yang selama sekian lama senantiasa dipimpin oleh "orang dalam" atau "orang sendiri", bisa jadi akan berubah secara drastis. Seseorang yang berasal dari luar birokrasi tanpa pengalaman pemerintahan dan bahkan dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah dari para birokrat bisa saja akan menjadi "penguasa" atas birokrasi lokal. Birokrasi hingga pada jajaran terbawah tampaknya belum seutuhnya dipersiapkan untuk menghadapi situasi baru ini : dipimpin oleh politisi partai yang sama sekali di luar tradisi politik Orba. Sementara politisi non-birokrasi, juga tidak cukup siap untuk meghadapi perubahan besar ini.
Kedua, dalam situasi KKN yang masih sangat kental di daerah-daerah, perubahan locus politik dari eksekutif ke legislatif bisa sekaligus berarti terjadinya perubahan arena KKN dari eksekutif ke legislatif. Peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi, dan nepotisme, akan semakin terbuka di DPRD (I dan II) ketimbang eksekutif. Hingga hari ini, kita belum memiliki perangkat politik yang memadai untuk mengantisipasi bahaya ini. Di masyarakat memang sudah mulai muncul inisiatif untuk memiliki "parlianment watch", lembaga pemantau legislatif, tetapi ia baru merupakan gejala sejumlah kota besar dan gejala nasional, bahkan sebatas gejala pulau Jawa dan belum melebar ke daerah-daerah. Sementara itu, media lokal yang bisa menjalankan fungsi kontrol sosial, tumbuh tidak merata di daerah-daerah dan masih rawan terhadap "intimidasi" dan "politik uang".
Tantangan domestik yang ketiga, juga bersumber pada perubahan peraturan perundang-undangan. Undang-undang baru juga telah berakibat secara serius pada perubahan status kecamatan dan camat.
1. Jika pada masa lalu status kecamatan tidak terlampau jelas, dan dalam prakteknya menjadi bagian dari pemerintah pusat, maka UU baru kecamatan menjadi bagian integral dari teritorial pemerintah daerah tingkat II dan camat menjadi instrumen pemerintahan daerah. Perubahan ini menyebabkan DPRD memiliki "wilayah kongkrit" yang selama sekian lama tidak tersentuh pengawasan politis dewan.
2. Mengingat perubahan-perubahan besar yang terjadi di atas, maka camat dan kecamatan tidak akan lagi menjadi arena yang "bebas" dari campur tangan politisi lokal seperti yang terjadi selama sekian lama. Kecamatan sekaligus menjadi arena bagi politisi untuk masuk ke dalamnya. Demikian pula, camat tidak lagi bisa terbebas dari pengawasan politik para wakil rakyat di daerah. Kontrol politik langsung akan menjadi bagian prinsip pada masa-masa yang akan datang.
3. Demikian pula, bisa jadi rekrutmen camat tidak lagi bersandarkan pada riteria-kriteria karier seperti yang sekarang terjadi, tapi juga melibatkan penilaian politisi yang dilakukan parpol yang berkuasa.
Tiga hal di atas akan semakin penting justru karena tiga paket UU politik baru (UU tentang pemilu, Kepartaian dan Susduk) juga berakibat pada perubahan yang serius pada politik kecamatan. Beberapa perubahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Jika di masa lalu camat menjadi satu-satunya kekuatan atau figur "pengusa" di kecamatan, maka UU politik baru telah menghilangkan hak "monopoli" camat ini. pimpinan-pimpinan partai di tingkat kecamatan ini menjadi "pesaing" dan kekuatan alternatif, sekaligus sebagai kekuatan kontrol atas sepak terjang camat yang tidak pernah ada preseden sebelumnya.
2. UU pemilu yang menempatkan kecamatan sebagai "unit distrik" bagi pemilihan tingkat II telah menempatkan politisi terpilih ikut menempatkan kecamatan sebagai kawasan politiknya. Ia bertanggung jawab dan sekaligus mewakili kepentingan kecamatannya di lembaga legislatif tk II. Dan karenanya, ia memiliki kepentingan untuk terlibat lebih jauh ke dalam politik kecamatan.
3. Dua kondisi di atas mengharuskan adanya perubahan mendasar dalam cara kerja dan sekaligus cara camat melihat persoalan. Munculnya kekuatan-kekuatan tandingan ini, akan menjadi variabel yang sangat menentukan masa depan kecamatan.
Permasalahan pokok yang dihadapi daerah dalam melaksanakan pembangunan politik dalam era otonomi ini adalah :
Peran dan fungsi DPRD, baik sebagai lembaga legislasi dalam penampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat belum optimal, termasuk pula dalam melaksanakan tugas pengawasan.
Sebagian besar Parpol dan Ormas masih menggantungkan kebutuhannnya pada bantuan pemerintah dan dukungan pengurus pusat. Dengan demikian, penetapan dan perumusan kebijakan organisasi masih belum sepenuhnya mandiri dan belum mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat didaerah secara maksimal. Selain itu sistim pengkaderan sebagian Parpol dan Ormas belum berjalan dengan baik.
Masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keberhasilan pembangunan sistim politik yang demokratis dan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kesiapan berbagai pihak untuk berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat diberbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu didukung oleh aparatur daerah yang professional, kreatif dan memiliki kualitas mental yang baik.
Kualitas mental sebagian aparat pemerintah memerlukan peningkatan demi menciptakan lembaga pemerintah yang bersih dari praktek-praktek KKN, sehingga pada gilirannya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Disamping itu "Pergeseran mental" aparat dari yang selama ini cenderung bersifat "Penguasa" (abdi negara) menjadi "Pelayan" masyarakat (abdi masyarakat) perlu terus dikembangkan.
Dari sisi kelembagaan, persoalan yang dihadapi adalah tidak efektif dan efisien struktur pemerintahan daerah. Untuk itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan pengawasan secara berkesinambungan, penataan kelembagaan dan keterlaksanaan, peningkatan kualitas pelayanan publik serta peningkatan kualitas SDM yang diikuti oleh penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung pemerintah umum dan pembangunan yang meningkatnya kesadaran aparatur daerah untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme dan kualitas mentalnya, terbukanya kesempatan untuk menata struktur pemerintahan daerah yang efektif dan efisien, secara terus menerus sesuai perkembangan yang ada, meningkatnya kebutuhan masyarakat pada informasi dan terjaminnya kebebasan pers.
Good governance pada penyelenggaraan pemerintah daerah perlu dirumuskan dengan memasukkan nilai-nilai di masyarakat. Dalam hal menata suatu pemerintahan, kita harus berfokus pada stakeholder yang paling penting, yaitu masyarakat. Adapun, budaya masyarakat barat yang individual tentu berbeda dengan budaya masyarakat kita yang komunal. Nilai-nilai budaya kita di tiap daerah sesungguhnya merupakan modal besar dalam membangun bangsa ini. Karena itu, menerapkan sesuatu dari struktur yang sudah establish dari barat, dengan budaya yang berbeda dan parameter tertentu ke dalam masyarakat kita, justru akan dapat menambah masalah. Hal ini disebabkan kita tidak berangkat dari akar persoalan. Dengan model good governance ini kita harus hati-hati dengan bahaya globalisasi yang melekat.

Dalam kondisi masyarakat yang sedang prihatin karena berbagai bencana, harga-harga yang semakin meningkat, dan banyak persoalan lain, maka model penataan yang tepat tidak hanya pada pemerintahan yang baik melainkan pemerintahan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat (pemerintah yang pemurah). Artinya, pemerintah harus memaksimalkan seluruh resorsis yang tersedia untuk mengatasi problem-problem di masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

GOOD AND CLEAN GOVERNMENT


Good and Clean Government merupakan pemerintah yang taat azas, tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang serta efisien, efektif, hemat dan bebas KKN. Tujuan akhir dari Good and clean government adalah terwujudnya Good Governance. Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance dapat dilihat sebagai berikut:

1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya Supremasi HukumKerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.



9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Memperhatikan prinsip-prinsip Good Governance di atas, maka sebetulnya Pelaksanaan Good and Clean Government merupakan suatu tahapan proses yang ideal. Banyak pihak yang mengatakan relative susah untuk mencapainya. Banyak kendala dan hambatan yang merintanginya. Penyebab tidak terjadinya Clean Government dapat dibagi dalam 4 (empat) aspek yaitu aspek individu, aspek organisasi, aspek masyarakat dan aspek peraturan perundang-undangan.
Aspek individu merupakan penyakit sosial yang berkaitan dengan moral dan akhlak manusia.
Aspek organisasi berkaitan dengan sistem akuntabilitas kinerja dan kelemahan dalam sistem pengendalian manajemen unit serta kultur organisasi yang kurang mendukung.
Aspek masyarakat berkaitan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang kurang mendukung terciptanya Clean Government misalnya masyarakat kurang peduli dan kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan adalah masyarakat sendiri, masyarakat juga ikut terlibat dalam setiap praktek penyimpangan dan pemberantasannya hanya akan berhasil bila masyarakat ikut aktif melakukannya.
Aspek peraturan perundang-undangan terkait dengan kualitas peraturan perundang-undangan yang belum memadai, sanksi yang terlalu ringan dan penerapan ketentuan yang tidak konsisten. Variabel tersebut merupakan komponen yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam upaya mewujudkan clean government.
Sedangkan kegiatan-kegiatan yang rawan terhadap tidak terciptanya Clean Government adalah masalah-masalah perizinan, pelelangan, pengadaan, pemberian fasilitas, penerimaan pendapatan, penetapan pungutan, penetapan keputusan, perencanaan, pengawasan dan pembuatan peraturan. Pada kegiatan-kegiatan tersebut banyak liku-liku dan cara serta perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mengarah pada tidak terciptanya
Pada setiap tingkatan dan lini penyelenggaraan pemerintahan harus mengupayakan tercapainya pemerintahan yang baik. Clean Governement dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah harus melibatkan stake holders yang ada. Baik unsur pemerintah, swasta (dunia usaha) dan masyarakat. Karena tiga komponen ini yang terkait secara langsung. Upaya-upaya dalam rangka menciptakan Clean Government di lingkungan lembaga atau badan penyelenggaraan pemerintahan termamsuk pula pada pemerintahan di daerah dibagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu Strategi Preventif, Strategi Detektif dan Strategi Represif.
Strategi Preventif dimaksudkan sebagai upaya dalam rangka mencegah timbulnya penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, inefisiensi, tidak efektif, tidak hemat dan adanya KKN. Contoh strategi preventif : pengharusan setiap seksi membuat perencanaan stratejik dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), Peningkatan kualitas penerapan Sistem Pengendalian Manajemen (SPM), Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat,Perlunya dibuat prosedur tata kerja atau sistem prosedur operasional kegiatan,Peningkatan kualitas pengawasan melekat, Perlunya dilakukan sosialisasi Clean Government, Peningkatan pembinaan sumber daya manusia (SDM) dan Perlunya sistem perencanaan yang baik.
Strategi Detektif merupakan upaya untuk dapat mengetahui secara dini atau dalam waktu sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya agar penyimpangan dapat ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar atau akibat yang lebih parah atas penyimpangan yang terjadi. Strategi detektif antara lain dapat dilakukan melalui: Peningkatan kemampuan aparat pengawasan, Penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat dan tindak lanjutnya.
Strategi Represif dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelesaikan secara hukum dengan sebaik-baiknya atas penyimpangan yang telah terjadi. Strategi Represif antara lain dapat dilakukan dengan : Pengusutan, penyidikan, penuntutan, peradilan dan penindakan kepada yang terlibat, Sistem pemantauan penyelesaian tindak lanjut penanganan perkara dan Perlunya publikasi kasus berdasarkan keputusan pengadilan.

PELAYANAN PUBLIK DAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK

A. Konsep Pelayanan Publik
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah.
Jika pemerintah merupakan organisasi birokrasi dalam pelayanan publik, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dalam hal institusi pemerintah memberikan pelayanan, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Suatu pelayanan bermutu yang diberikan kepada masyarakat menuntut adanya upaya dari seluruh pegawai, dan bukan hanya dari petugas di “Front Office”. Jadi, upaya itu tidak hanya dituntut dari mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat dalam menghasilkan pelayanan yang mencerminkan kualitas sikap pegawai tersebut, tetapi juga dari para pegawai di “Back Office” yang menghasilkan layanan di belakang layar yang tidak kelihatan oleh masyarakat.

Mengapa dalam konsep pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah harus dilakukan oleh seluruh pegawai ? Karena, tugas apa saja yang dilakukan oleh setiap pegawai mengandung unsur pelayanan yang pada gilirannya akan mempengaruhi mutu pelayanan jasa produk dari instansi dimana pegawai tersebut bekerja yang diterima oleh masyarakat.

Pelayanan masyarakat mencerminkan pendekatan seutuhnya dari seorang pegawai pada instansi pemerintah kecamatan. Inti dari pelayanan masyarakat adalah sikap menolong, bersahabat, dan profesional dalam memberikan pelayanan jasa atau produk dari suatu instansi yang memuaskan masyarakat dan menyebabkan masyarakat datang kembali untuk mohon pelayanan instansi tersebut.

Pelayanan masyarakat menuntut setiap unsur di dalam lembaga tersebut untuk berempati kepada masyarakat. Empati mengandung pengertian sebagai kesanggupan dari birokrat pemerintah untuk menempatkan dirinya dari pihak masyarakat dan melihat hal-hal atau masalah-masalah dari sudut pandangan masyarakat. Melalui empati yang dilakukan oleh pegawai itu akan menuntut kesabaran dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

B. Beberapa Permasalahan Dalam Pelayanan Publik

Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:

(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.


C. Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik

Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir (seperti Indonesia) memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan

D. Prinsip Dalam Pelayanan Publik

Beberapa prinsip pokok (Irfan Islamy 1999) yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik termasuk pula pada manajemen pemerintahan daerah yang Kantor Kecamatan ada didalamnya, maka dalam aspek internal organisasi perlu memperhatikan aspek yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan
(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya haru dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini bagi setiap lini organisasi pemerintahan di Indonesia, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomor.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikanpelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal- hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.

E. Beberapa Cara Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Masalah Pelayanan Publik

Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis;
Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik;
Meningkatkan keterlibatan masyarakat , baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik;
Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan public menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian);
Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik;
Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik;
Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik;
Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik;
Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik;
Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.

F. Penutup
Sebagai inti dari pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh organisasi pemerintah kecamatan adalah belajar untuk berkomunikasi secara baik dan benar dengan setiap masyarakat yang datang mau meminta pelayanan. Berkomunikasi yang baik ini merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap pegawai, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian pekerjaan dari seorang pegawai. Mengapa demikian ? Karena setiap pegawai akan berusaha memahami, melayani, dan menghargai berbagai orang yang dijumpai setiap hari . Sehingga hal tersebut akan membantu dalam peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

Melayani masyarakat dengan baik adalah merupakan tanggung jawab bagi semua pegawai. Dengan demikian maka setiap pegawai harus melayani masyarakat dan mempelajari cara meningkatkan keterampilan untuk melayani. Di dalam keterampilan melayani, termasuk pula di dalamnya adalah penguasaan terhadap pengetahuan jasa layanan yang diberikan, karena hal ini akan menunjukan kepada masyarakat bahwa pegawai tersebut adalah seorang profesional di bidang Manajemen Pelayanan Publik.Seorang profesional dalam dunia pelayanan publik seharusnya menguasai kebutuhan masyarakat dan mengetahui cara memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN

A. Kondisi Umum
Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, prioritas pembangunan bidang penyelenggaraan negara diarahkan pada reformasi birokrasi dengan fokus pada: upaya-upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat; meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan mengurangi secara signifikan tingkat penyalahgunaan kewenangan di lingkungan aparatur pemerintahan; meningkatkan kualitas pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat serta mempercepat tindak lanjut hasil pengawasan dan pemeriksaan.

Berbagai kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka penerapan kepemerintahan yang baik, antara lain:
1) Menyusun RUU Etika Penyelenggara Negara, misalna dalam prolegnas.
2) Melakukan koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) tingkat nasional secara lebih baik;
3) Melakukan sosialisasi dan koordinasi pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
4) Menyelenggarakan sosialisasi dan penajaman reformasi birokrasi dan percepatan penerapan good public governance (GPG) di berbagai instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah;
5) Penataan kelembagaan, ketatalaksanaan aparatur dan sumber daya manusia aparatur;
6) Pemetaan tentang praktik terbaik (best practices) penerapan GPG, peningkatan pelayanan publik, percepatan pemberantasan korupsi, peningkatan pengawasan dan pemeriksaan, serta saran-saran tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, pemerintah terus berupaya agar konsep RUU tentang Pelayanan Publik .Beberapa kegiatan Pemerintahan Nasional terkait dengan upaya peningkatan penelenggaraan pemerintahan ang antara lain:
1) Dilaksanakannya pengembangan dan penerapan etika dalam pelayanan publik;
2) Disusunnya pedoman supervisi pelayanan publik;
3) disusunnya pedoman deregulasi dan debirokratisasi di bidang pelayanan publik;
4) diterapkannya pelayanan publik yang lebih baik oleh pemerintah daerah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai acuan pemerintah daerah dalam menyusun dan melaksanakan SPM untuk setiap Satker;

B. Pembangunan Birokrasi
Pembangunan bidang penyelenggaraan negara diprioritaskan untuk melanjutkan reformasi birokrasi. Pelaksanaan reformasi birokrasi tersebut diharapkan mampu menghasilkan birokrasi yang mampu berperan sebagai fasilitator dan dinamisator penyelenggaraan pembangunan. Pada sisi yang lain diharapkan birokrasi turut menciptakan iklim yang mendukung lancarnya proses pemerintahan dan pembangunan serta dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberantas berbagai jenis penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN. Pelaksanaan reformasi birokrasi difokuskan kepada upaya-upaya:
1) Penataan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses desentralisasi melalui upaya pembenahan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kinerja kebijakan dan program pembangunan;
2) Pembenahan manajemen SDM aparatur (kepegawaian) mencakup sistem remunerasi, peningkatan kompetensi aparatur, pembinaan karier berdasarkan prestasi kerja, dan penerapan reward dan punishment dalam pembinaan pegawai;
3) Dilaksanakannya Standar Pelayanan Minimal (SPM ) pada penelenggaraan berbagai urusan pemerintahan.
4) Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-services) dalam pelayanan publik
5) Selain itu, dukungan terhadap reformasi birokrasi jugaperlu diberikan oleh legislatif.

Percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi Indonesia pada tahun 2008 difokuskan kepada upaya-upaya:
1) Peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang pertanahan, investasi, samsat, perpajakan, dan kepabeanan serta pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik;
2) Mendorong terbentuknya sistem pelayanan terpadu (pelayanan satu atap/pintu) di pusat dan daerah;
3) Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah di dalam penerapan standar pelayanan minimal (SPM) antara lain di bidang pendidikan dan kesehatan;
4) Penyempurnaan sistem koneksi (inter phase) Nomor Induk Kependudukan yang terintegrasi antar instansi yang terkait;
5) Penyempurnaan sistem remunerasi PNS yang adil, layak dan dapat mendorong peningkatan kinerja;
6) Penyempurnaan sistem penilaian kinerja PNS, untuk menggantikan DP3 yang tidak akuntabel;
7) Penyusunan pedoman penerapan sistem manajemen kinerja untuk instansi pemerintah;
8) Penyusunan sistem pengawasan; dan
9) Penataan kelembagaan quasi birokrasi dan kelembagaan birokrasi. Dengan berbagai langkah tersebut, diharapkan birokrasi pemerintah mampu sebagai pilar kekuatan pemerintahan dan pembangunan di segala bidang. Namun demikian disadari pula, bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi masih akan dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan tantangan.

C. Permasalahan Yang Dihadapi
Permasalahan yang dihadapi, antara lain adalah masih tingginya pelanggaran disiplin dan tingkat penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk tindak pidana korupsi; masih rendahnya kinerja sumber daya manusia aparatur; belum memadainya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan birokrasi pemerintah untuk dapat menunjang pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara efisien dan efektif; dan belum optimalnya penerapan teknologi informasi dan komunikasi (e-services) di setiap instansi pelayanan publik yang berakibat pada rendahnya kualitas pelayanan publik.

Sedangkan tantangan yang harus dihadapi antara lain: (1) perlu dibangunnya komitmen moral bersama secara utuh dari segenap unsur aparatur negara untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good public governance) dalam mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi; (2) perbaikan manajemen internal di instansi pemerintah yang fokus pada peningkatan kinerja instansi, kinerja unit kerja dan kinerja individu; (3) peningkatan kesejahteraan PNS; (4) penyempurnaan sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara secara komprehensif; (5) perlunya dibangun pemahaman yang sama di antara aparatur negara dalam penerapan nilai-nilai atau prinsip-prinsip good public governance di setiap pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan; dan (6) pentingnya terjalin sinergitas antara aparatur negara, dunia usaha dan masyarakat dalam upaya membangun tata kepemerintahan yang baik. Di samping itu, birokrasi juga dihadapkan pada tantangan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat dan ketidakpastian yang terjadi sebagai akibat globalisasi, yang kemudian dapat mempengaruhi sistem dan kinerja birokrasi pemerintahan saat ini.

Untuk itu, dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan tersebut, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan komitmen moral segenap aparatur negara dan dunia usaha serta masyarakat untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain dengan melaksanakan reformasi birokrasi secara konsisten dan berkelanjutan mencakup upaya-upaya untuk meningkatkan efektivitas sistem pengawasan dan audit publik; mempercepat tindak lanjut hasil pengawasan dan pemeriksaan; meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia aparatur; meningkatkan kesejahteraan PNS dan pembenahan manajemen kepegawaian; menata sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan birokrasi pemerintahan; serta mendorong percepatan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-services) di setiap instansi pelayanan publik. Semua upaya tersebut harus dilaksanakan dengan baik, terencana, dapat dipertanggungjawabkan dan berkesinambungan agar penciptaan tata pemerintahan yang baik dan berwibawa (good public governance) pada semua tingkatan lini pemerintahan dan kegiatan pembangunan baik di pusat maupun daerah dapat segera diwujudkan secara akuntabel.

B. Sasaran Pembangunan Tahun 2008

Sasaran pembangunan penyelenggaraan negara adalah meningkatnya kinerja birokrasi pemerintahan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan di bidang-bidang lainnya, yang antara lain ditandai dengan: makin efisien dan efektifnya penggunaan anggaran, meningkatnya kualitas pelayanan publik, dan berkurangnya penyalahgunaan kewenangan (KKN) di lingkungan birokrasi pemerintah.

C. Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2008
Untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara dalam tahun 2008, maka kebijakan penyelenggaraan negara diarahkan pada:
1. Peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang pertanahan, investasi, perpajakan dan kepabeanan, Samsat, serta pengadaan barang dan jasa publik;
2. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal setiap sektor di 15 provinsi;
3. Pengembangan sistem koneksi (inter phase) Nomor Induk Kependudukan;
4. Penyusunan sistem remunerasi PNS yang adil, layak dan dapat mendorong peningkatan kinerja;
5. Penyusunan dan penetapan sistem penilaian kinerja PNS yang akuntabel, penggantian DP-3 yang dinilai tidak akuntabel;
6. Penyusunan pedoman penerapan sistem manajemen kinerja untuk instansi pemerintah;
7. Penyusunan sistem pengawasan yang efisien, efektif, dan tidak tumpang tindih, serta dapat mendorong peningkatan kinerja instansi pemerintah;
8. Penataan atas tugas dan fungsi lembaga/badan quasi birokrasi dan lembaga-lembaga di dalam birokrasi.

GOVERNMENT VS GOVERNANCE

A. Perbedaan Konseptual
Konsep dasar dari Pemerintah (Government) lebih berkaitan dengan lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan mengemban fungsi mengelola administrasi pemerintahan. Di tingkat Pemerintahan Pusat maka konsep Pemerintah (Government) merujuk pada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara beserta Para Kabinet Pemerintahan. Sedangkan Tata Pemerintahan (Governance) lebih menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik-baiknya antar elemen yang ada. Di tingkat Pemerintahan Negara konsep Tata Pemerintahan (Good Governance) merujuk pada pola hubungan antara pemerintah Indonesia ( Presiden & Kabinet), kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial dalam upaya menciptakan kesepakatan bersama menyangkut pengaturan proses pemerintahan.Hubungan yang diidealkan adalah sebuah hubungan yang seimbang dan proporsional antara empat kelembagaan tersebut.

Dengan demikian cakupan Tata Pemerintahan (Governance) lebih luas dibandingkan dengan Pemerintah (Government), karena unsur yang terlibat dalam Tata Pemerintahan mencakup semua kelembagaan yang ada pada pemerintahan Indonesia, termasuk didalamnya ada unsur Pemerintah (Government). Dalam hal ini tata pemerintahan melibatkan unsure sswasta dan masyarakat di dalamnya selain pemerinta itu sendiri. Karena bangunan governance merupakan bangunan yang multi stakeholders.



Hubungan antara Pemerintah (Government) dengan Tata Pemerintahan (Governance) terletak pada proses pelaksanaannya. ika kita hanya ingin menciptakan pemerintah (Government) yang baik, maka Tata Pemerintahan (Governance) yang baik tidak tumbuh. Tapi jika kita menciptakan Tata Pemerintahan (Governance) yang baik, maka pemerintah (Government) yang baik juga akan tercipta. Dengan demikian yang perlu dikedepankan adalah bagaimana penciptaan good governance agar pemerintah dalam pelaksanaannya menjadi baik.

Di tingkat Pemerintahan baik pusat maupuan daerah, jika hanya menciptakan Pemerintah yang baik, maka tata pemerintahan yang baik belum tentu dapat tercipta. Tapi kalau yang diciptakan adalah tata pemerintahan yang baik maka dengan sendirinya pemerintah sebagai penyelenggara berbagai urusan yang baik juga akan tercipta. Hal tersebut dikarenakan dalam penciptaan Tata Pemerintahan Yang Baik telah dilakukan upaya pelibatan semua kelembagaan baik dari pemerintah (eksekutif) , kelembagaan politik (Parpol maupuan legislative) , kelembagaan ekonomi serta kelembagaan ocial lainnya ( termasuk unsure swasta) dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.












B. Pentingnya menegakkan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Tata pemerintahan yang baik tidak serta merta terjadi begitu saja. Kondisi menjadi tata pemerintahan yang membutuhkan keterlibatan berbagai unsure dan proses. Terdapat beberapa alas an mengapa good governance perlu terus diupayakan, antara lain:

Pertama, karena selama masa orde Baru dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya dikembangkan Pemerintah Yang Baik (Good Government) saja dan belum menyertakan partisipasi masyarakat sehingga transparansi kepada masyarakat belum ada. Artinya pada masa orde baru masih terjadi adanya dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan swasta dan masyarakat masih sangat ditentukan oleh pemerintah.

Kedua, karena pada waktu ini tengah dilaksanakan otonomi daerah dimana daerah maupun desa dijadikan titik penting dalam otonomi daerah. Otonomi daerah tanpa adanya penciptaan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) akan menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan baik pusat, daerah dan pemerintahan desa akan berjalan searah dan timpang, karena mengabaikan aspek lainnya seperti lembag-lembaga non pemerintah maupun unsur swasta. Hal tersebut menyebabkan adanya dominasi eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika tidak dikembangkan pola hubungan yang baik dari semua kelembagaan penyelenggara negara, maka pemerintah akan tidak ada yang mengontrol. Dengan adanya penerapan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) diharapkan pemerintah daerah (terutama) yang sudah otonom dari pemerintahan atasnya, tidak terlalu bebas dalam berhubungan dengan masyarakat serta masyarakat memiliki tempat untuk ikut serta terlibat dan mengawasi jalannya pengelolaan pemerintahan daerah. Dengan demikian semangat yang melingkupi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya keseimbangan peran antara pemerintah daerah kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Dengan demikian maka perubahan paradigma dari yang tadinya dominasi pemerintah sekarang menjadi masyarakat yang berdaya menjadi perhatian utama dalam pewujudan good governance. Kemandirian masyarakat dan meminimalisasikan keterlibatan pemerintah dalam pembangunan adalah menjadi upaya yang terus dilakukan. Sehingga pada akhirnya tidak akan lagi terjadi ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah, melainkan akan menjadi mitra sejajar antara pemerintah, sswasta dan masy

AGENDA GOOD GOVERNANCE

Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini. Beberapa pokok pikiran yang menjadi penting sebagai agenda Good Governance antara lain: masalah politik, ekonomi, sosial dan hukum. Masing-masing bidang yang dianggap menjadi fokus agenda Good Governance tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Agenda Politik

Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang dijalankan secara terus menerus. Sebagai misal sudah dilakukan amandemen atas UUD 1945, Perubahan atas penyelenggaraan pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif, termasuk pula penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan dalam sistem kepartaian di Indonesia. Secara kuantitatif sudah dapat dikatakan bahwa kesadaran politik masyarakat demikian tinggi dengan banyaknya partai politik. Namun permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah kualitas dari partai politik dan orang-orang di dalam partai politiknya itu sendiri yang harus ditingkatkan kualitasnya.

2. Agenda Ekonomi

Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Terkait dengan permasalahan ekonomi ini, Indonesia juga terkena imbas dari permasalahan crisis ekonomi global yang melanda banyak negara di dunia. Hal tersebut akan semakin memperparah kondisi ekonomi dalam negeri Indonesia jika tidak segera dilakukan pembenahan sistem perekonomian Indonesia menjadi lebih baik

3. Agenda Sosial

Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini kemandirian masyarakat menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Artinya dengan masyarakat yang berdaya maka pemerintah tidak lagi terlalu berat dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat.

Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi. Berbagai upaya pendampingan dan peningkatan kesadaran politik masyarakat menjadi perhatian berbagai pihak.

Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus seperti pergolakan di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera mendapatkan solusi yang memadai.

Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Agenda Hukum

Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.

Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat. Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut adalah:

a. Reformasi Konstitusi Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata penyelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.

b. Penegakan Hukum Syarat mutlak pemulihan pepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebh menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan prakatisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadai yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen Pengawas Kejaksaan.

c. Pemberantasan KKN KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.

Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.

d. Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegrasi Bangsa Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat stategis di dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses disintegrasi.

e. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat Untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.
f. Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif dan Peradilan Untuk lebih meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistim pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota.
g. Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selektive enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat

GOOD GOVERNANCE DALAM PEMERINTAHAN INDONESIA

A. Berbagai Pandangan Good Governance
Reformasi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang diawali dengan reformasi politik sejak tahun 1997 pada akhirnya berdampak pada tata pemerintahan Indonesia saat ini. Karenanya sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat. Asumsi kebanyakan penyelenggara pemerintahan bahwa konsep yang baru ini diharapkan akan menjadi sumber inspirasi menuju tata pemerintahan yang lebih baik di Indonesia.
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri. Artinya pada awal populernya konsep good governance masih banayak perbedaan pandangan dan pendapat tentang hal tersebut.

Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Sehingga tujuan akhir dari konsep ini adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik , bersih, transparan dan bertangggung jawab.

B. Prinsip-prinsip Good Governance

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diuraikan satu-persatu sebagai berikuT

1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan,baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Dalam hal ini setiap masyarakat memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya dalam berbagai tahapan dan proses pembangunan. Peran serta dan kontribusi masyarakat dalam pembangunan merupakan bagian dalam mewujudkan tujuan dari pembangunan itu sendiri yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Hal ini merupakan prasyaratbagi tegaknya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, terutama dalam menegakaan aturan hukum yang telah dibuat.3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau oleh berbagai pihak yang terkait. .Keterbukaaan yang dibangun sebagai awal bagi penciptaan kepercayaan publik terhadap para penyelenggara pemerintahan negara. Dengan demikian tidak akan terjadi prasangka dan curiga dari masyarakat terhadap pemerintah. 4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini pelayanan terhadap masyarakat tanpa membedakan kedudukan dan status sosial. 5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Ini terkait dengam konsistensi penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan konsesus. Dengan demikian tidak akan terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang asal jalan dan hanya mendasarkan pada keinginan elite pemerintahan/politik saja, melainkan kepentingan bersama yang telah ditetapkan pada awal perencanaan.6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan warga masyarakat dalam berperan pada penyelenggaraan pembangunan.


7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.




C. Pilar-pilar Good Governance


Bangunan Good Governance tidak berdiri sendiri dari pemerintah (negara) semata. Melainkan perlu dukungan dari pihak lain seperti swasta dan masyarakat. Sehingga dalam implementasinya Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Secara lebih rinci mengenai peranan ketiga pihak dalam pewujudan Good Governance tersebut adalah:

1. Negara
a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabilb. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilanc. Menyediakan public service yang efektif dan accountabled. Menegakkan HAMe. Melindungi lingkungan hidupf. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

2. Sektor Swasta
a. Menjalankan industrib. Menciptakan lapangan kerja c. Menyediakan insentif bagi karyawand. Meningkatkan standar hidup masyarakate. Memelihara lingkungan hidupf. Menaati peraturang. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakath. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3. Masyarakat Madani a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungib. Mempengaruhi kebijakan publikc. Sebagai sarana cheks and balances pemerintahd. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintahe. Mengembangkan SDMf. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Wednesday, November 5, 2008

Prinsip-prinsip Good Governance

Konsep Good Governance sebagaimana halnya sebuah konsep baru dalam tata pemerintahan negara, maka didalamnya mempunya prinsip yang mendukung terhadap penguatan konsep tersebut. Dalam beberapa literatur World Bank, terkait dengan Konsep Good Governance maka terdapat prinsip-prinsip yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan dari Good Governance. Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Terdapat sembilan prinsip Good Governance yang perlu dikembangkan dalam tata pemerintahan negara yaitu:

1. Partisipasi Masyarakat
Posisi masyarakat sipildalam peweujudan good governance adalah bagian yang cukup penting. Posisi masyarakat sama halnya seperti pemerintah maupun kelompok swasta. Ia memiliki peranan yang strategis dalam mewujudkan good governance. Peranan penting dari masyarakat ini diwujudkan melalui partisipasi. Dalam hal ini partisipasi yang dimaksudkan adalah keterlibatan masyarakat dalam berbagai proses dan tahapan pengambilan keputusan pemerintah/politik/ negara. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan,baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Dalam hal ini setiap masyarakat memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya dalam berbagai tahapan dan proses pembangunan. Peran serta dan kontribusi masyarakat dalam pembangunan merupakan bagian dalam mewujudkan tujuan dari pembangunan itu sendiri yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Mewujudkan kesejahteraan masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah maupun kalangan swasta semata. Partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan juga sangatlah diperlukan. Karena masyarakat yang punya kehendak, punya suara dan mempunya sumberdaya. Inilah posisi tawar masyarakat sangat penting. Karenanya partisipasi masyarakat harus menjadi bagian yang utama dalam upaya mewujudkan good governance. Ini sebagai upaya percepatan untuk menjadikan masyarakat yang mandiri dan berdaya.

2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Hal ini merupakan prasyarat bagi tegaknya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, terutama dalam menegakaan aturan hukum yang telah dibuat.
Perangkat hukum yang dimiliki haruslah dijadikan sandaran dalam upaya mewujudkan tujuan bernegara dan bermasyarakat. Hukum adalah representasi dari kehendak masyarakat. Karena Hukum dibuat oleh lembaga yang mewakili masyarakat dan dipilih melalui Pemilu. Karenanya tidak perbedaan perlakuan dalam upaya penegakan hukum. Konsistensi melaksanakan hukum yang dimiliki adalah tanggungjawab semua stakholder di dalam negara.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau oleh berbagai pihak yang terkait. .Keterbukaaan yang dibangun sebagai awal bagi penciptaan kepercayaan publik terhadap para penyelenggara pemerintahan negara. Dengan demikian tidak akan terjadi prasangka dan curiga dari masyarakat terhadap pemerintah.
4. Peduli pada Stakeholder
Prinsip ini lebih difokuskan pada pemerintah. Artinya pemerintah dan lembaga teknis yang dimiliki harus berusaha untuk mengedepankan kepentingan masyarakat dan stakeholder lainnya dalam kapastitas ia sebagai pelayan publik. Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini pelayanan terhadap masyarakat tanpa membedakan kedudukan dan status sosial.
Pelayanan publik sebagai dasar dalam mengukur kualitas penyelenggaraan negara, maka perlu ditetapkan standar pelayanan minimal agar siapapun yang dilayani mendapatkan perlakuan yang sama. Dengan demikian maka emphaty terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat menjadi perhatian yang perlu dibudayakan dalam birokrasi pelayanan pemerintah.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Ini terkait dengam konsistensi penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan konsesus. Dengan demikian tidak akan terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang asal jalan dan hanya mendasarkan pada keinginan elite pemerintahan/politik saja, melainkan kepentingan bersama yang telah ditetapkan pada awal perencanaan.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan warga masyarakat dalam berperan pada penyelenggaraan pembangunan.


7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Artinya, penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada permaslahan yang dihadapi, kebutuhan yang segera dan didasarkan pada kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Tentu saja dalam mencapai efektivitas dan efisiensi ini harus mendasarkan penyelenggaraan pemerintahan pada perencanaan pembangunan yang baik.

8. Akuntabilitas
Dalam hal ini mengandung pengertian bahwa setiap lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan atau program-program terkait dengan kepentingan publik harus dapat mempertanggungjawabkan atas apa yangilaksanakannya kepada masyarakat. Wujud dari akuntabilitas ini adalah adanya laporan kinerja lembaga pemerintah.
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Dalam hal visi strategis ini, adalah apa yang diinginkan pada masa depan yang lebih baik dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Artinya penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus didasarkan pada konsep tujuan yang jelas dan terukur. Hal tersebut akan menjadi komitmen untuk pencapaiannya.

Konsep Good Governance

Good governance

Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.

Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan dalam makalah ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.

Menurut Leach & Percy-Smith (2001) government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan “yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat menangkap makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”

Mudahnya, dapat kita bilang bahwa governance merupakah seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Karenanya, analisis mengenai governance kemudian berfokus pada aktor-aktor dan struktur atau sistem, baik formal maupun informal, yang terlibat dalam proses pembuatan dan pengimplementasian sebuah keputusan. Pemerintah hanyalah salah satu aktor tersebut, sementara aktor-aktor lain diluar pemerintah dan militer biasa dikelompokkan sebagai bagian dari civil society. Demikian juga, struktur formal pengambilan keputusan yang dimiliki pemerintah (rapat kabinet, sidang paripurna, dialog dengan warga, dsb.) hanya merupakan salah satu struktur yang mempengaruhi pengambilan dan pengimplementasian keputusan, sementara diluarnya mungkin banyak terdapat struktur-struktur informal (adat istiadat, mafia, KKN, dsb.) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan maupun individu-individu dalam struktur formal tadi.

Good governance mensyaratkan 8 karakteristik umum/dasar, yaitu partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Apabila diimplementasikan secara ideal, konsep ini diharapkan dapat memastikan pengurangan tingkat korupsi, pandangan kaum minoritas diperhitungkan dan suara dari mereka yang paling lemah dalam masyarakat didengar dalam proses pengambilan keputusan. Ia juga responsif terhadap masa kini dan kebutuhan masyarakat di masa depan. Ini konsep idealnya. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai masing-masing karakteristik :

1. Participation
Partisipasi oleh pria dan wanita adalah kunci good governance. Partisipasi dapat langsung maupun melalui institusi perwakilan yang legitimate. Partisipasi harus informatif dan terorganisir. Ini mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi dan berekspresi di satu sisi dan sebuah civil society yang kuat dan terorganisir di sisi
lain.

2. Rule of law
Good governance memerlukan sebuah kerangka legal atau hukum dan peraturan yang ditegakkan secara komprehensif. Ia juga memerlukan perlindungan penuh terhadap HAM, terutama bagi kaum minoritas. Proses enforcement hukum yang imparsial membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan kepolisian yang juga imparsial dan tidak korup.

3. Transparency
Transparansi mengandung arti bahwa pengambilan dan pengimplementasian keputusan dilakukan dalam tata cara yang mengukuti hukum dan peraturan. Ia juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses langsung oleh mereka yang akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Informasi yang tersedia haruslah dalam bentuk dan media yang mudah dimengerti.

4. Responsiveness
Good governance memerlukan institusi dan proses didalamnya yang mencoba untuk melayani semua stakeholders dalam kerangka waktu tertentu yang sesuai.

5. Consensus oriented
Ada lebih dari satu aktor dan banyak sudut pandang dalam suatu komunitas. Good governance memerlukan mediasi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda di masyarakat dalam rangka mencapai sebuah konsensus umum dalam masyarakat yang merupakan kepentingan atau keputusan yang terbaik yang dapat dicapai untuk seluruh masyarakat. Ini memerlukan perspektif luas dan jangka panjang mengenai apa yang diperlukan untuk pengembangan manusia secara berkesinambungan. Ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang baik atas konteks historis, kultural dan sosial di komunitas atau masyarakat tersebut.

6. Equity and inclusiveness
Keberadaan sebuah masyarakat bergantung pada proses memastikan bahwa seluruh anggotanya merasa bahwa mereka memiliki kepentingan didalamnya dan tidak merasa dikucilkan dari mainstream masyarakat tersebut. Ini memerlukan semua kelompok, terutama yang paling lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberadaan mereka.

7. Effectiveness and efficiency
Good governance berarti bahwa output dari seluruh proses dan institusi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat disamping efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk melakukannya. Konsep efisiensi dalam konteks good governance juga mencakup penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan kesinambungan dan perlindungan lingkungan.

8. Accountability
Akuntabilitas adalah salah satu kebutuhan utama dalam good governance. Tidak hanya untuk institusi pemerintahan, melainkan juga sektor swasta dan organisasi-organisasi civil society harus bisa diakun oleh publik dan stakeholders-nya. Secara umum, sebuah organisasi atau institusi bertanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan mereka. Akuntabilitas tidak mungkin ditegakkan tanpa adanya transparansi dan supremasi hukum.